Sunday, November 30, 2014

Parlemen Thailand Melarang Praktek Surrogacy

Parlemen Thailand memutuskan untuk melarang praktik surrogacy atau ibu pengganti komersial setelah adanya serangkaian skandal dalam industri itu.

Parlemen negara yang didominasi pihak militer memberikan persetujuan awal pada sebuah rancangan undang-undang yang mengatur bahwa mereka yang mendapatkan keuntungan dari praktik ibu pengganti dapat dihukum penjara sampai 10 tahun.

Dalam praktik ibu pengganti seorang wanita yang sedang tidak hamil sepakat untuk mengandung seorang anak bagi orang lain yang nanti akan menjadi orangtua.

Industri bayi menjadi sorotan setelah adanya serangkaian skandal yang melibatkan orang asing sehingga membuat pemerintah Thailand berjanji untuk memberantasnya.

Pada bulan Agustus misalnya, seorang wanita Thailand yang mengandung bayi kembar untuk pasangan Australia menuduh pasangan itu membuang salah satu bayi kembar mereka yang terkena Sindrom Down, namun membawa pulang bayi lainnya yang sehat.

Pattaramon Chanbua kemudian memutuskan untuk membesarkan Gammy.

Seorang anggota parlemen mengatakan pemerintah ingin mengakhiri pendapat orang-orang asing bahwa Thailand adalah pabrik bayi.

Praktik ibu pengganti komersial secara resmi memang dilarang oleh Dewan Medis Thailand, namun hingga beberapa waktu klinik fertilitas terkenal pun diketahui menawarkan layanan ini.

"Ratusan orang yang ingin jadi orang tua dari Australia, AS, atau negara-negara Europa saat ini memiliki bayi yang dikandung oleh ibu-ibu pengganti di Thailand," kata Sam Everingham, dari Families Through Surrogacy di Australia, kepada AFP.


Sumber : http://utama.seruu.com/read/2014/11/29/236054/thailand-larang-praktik-surrogacy

Thursday, November 27, 2014

Sejarah Nama Ruang Di Gedung DPR / MPR

Gedung dan ruang-ruang di DPR/MPR RI diberi nama Sanskerta pada era Orde Baru. Reformasi menyederhanakannya.
SEJAK era reformasi, nama-nama gedung di kompleks DPR/MPR bernama Nusantara I sampai V. Pada masa pemerintahan Soeharto, yang kental dengan nuansa Jawa, nama-nama gedung dan ruangan itu berasal dari Sanskerta.

Gedung DPR/MPR dibangun atas perintah Sukarno. Semula ditujukan untuk penyelenggaraan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Proyeknya digarap pemenang sayembara, yaitu tim dari Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang dipimpin Sujudi Wirjoatmodjo, arsitek jebolan Technische Universitat Berlin Barat. Pemancangan tiang pertama pada 19 April 1965. Pembangunan terhenti karena meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965.

Pada 9 November 1966, Soeharto, sebagai ketua Presidium Kabinet Ampera, menginstruksikan untuk melanjutkan proyek gedung Conefo, namun peruntukkannya akan menjadi gedung parlemen. Keputusan ini diambil setelah proyek peremajaan gedung DPR GR di Lapangan Banteng, terhenti.
Menteri Pekerjaan Umum menerjemahkan instruksi Soeharto dengan membubarkan Komando Proyek New Emerging Force dan membentuk badan pelaksana bernama Proyek Pembangunan Gedung DPR/MPR RI.

Secara bertahap, pembangunan gedung selesai dan diserahkan kepada Sekretariat Jenderal DPR: Main Conference Building pada Maret 1968, Secretariat Building dan Gedung Balai Kesehatan (Maret 1978), Auditorium Building (September 1982), dan Banquet Building (Februari 1983). Pemberian nama gedung yang semua pakai bahasa Inggris kemudian diubah menggunakan bahasa Sansekerta: Grahatama, Lokawirabasha Tama, Pustakaloka, Grahakarana, dan Samania Sasanagraha.

“Yang jelas semua menggunakan bahasa Sanskerta yang amat sulit bahkan untuk orang Jawa, apalagi mereka yang datang dari seberang,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi.

Tak jarang, nama-nama ruangan ini salah diucapkan oleh anggota parlemen. Salim Said mencontohkan Ismail Hassan Metareum, ketua Partai Persatuan Pembangunan yang juga wakil ketua DPR/MPR, dalam sebuah sidang salah menyebut ruang utama paripurna sebagai ruang Kartasasmita, yang disambut tawa anggota parlemen. Maklum, Kartasasmita adalah nama keluarga Ginandjar, tokoh politik terkemuka saat itu.

Pada 1998, gedung DPR/MPR diduduki mahasiswa, Orde Baru pun tumbang. Semua hal yang berbau Orde Baru mulai digugat. Termasuk dominasi bahasa Jawa.
Beberapa waktu berselang, muncul usulan dari anggota DPR/MPR untuk mengubah nama-nama gedung dan ruangan tersebut. “Saya mengusulkan perubahan dan penyederhanaan nama ruang rapat di gedung DPR,” tulis Salim Said, yang di awal reformasi menjadi anggota Badan Pekerja MPR.
Salim Said lalu membuat dan mengedarkan petisi mengenai perubahan nama. Setelah berhasil menghimpun hampir 300 tanda tangan anggota parlemen, dia menyerahkan petisi itu kepada Afif Ma’roef, sekretaris jenderal DPR/MPR, pada September 1998.

Menurut Afif Ma’roef, usulan perubahan nama itu sudah tercetus sejak keanggotaan DPR/MPR periode 1992/1997. “Sudah diusulkan, cuma tidak terlalu direspons, jadi dibiarkan saja,” ujar Afif kepada Panji Masyarakat terbitan tahun 1999.

Rapat pimpinan DPR pada 18 November 1998 memutuskan membentuk Tim Penggantian Nama-nama Gedung MPR/DPR RI yang dipimpin Wakli Ketua DPR Korkesra Fatimah Achmad. Tim segera bekerja. Rapat terakhir pada 14 Desember 1998 memutuskan menyetujui penggantian nama gedung-gedung DPR/MPR.

Maka, gedung-gedung yang menggunakan bahasa Sansekerta pun berubah: Grahatama menjadi Gedung Nusantara, Lokawirasabha Tama (Gedung Nusantara I), Ganagraha (Gedung Nusantara II), Lokawirasabha (Gedung Nusantara III), Pustakaloka (Gedung Nusantara IV), Grahakarana (Gedung Nusantara V), Samania Sasanagraha (Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI), dan Mekanik Graha (Gedung Mekanik).

Perubahan juga terjadi pada nama ruangan, yang cukup menyebut ruang sidang atau ruang fraksi, komisi, dan paripurna.

Sumber : https://id.berita.yahoo.com/riwayat-nama-ruang-dan-gedung-154643940.html

Wednesday, November 19, 2014

Parlemen : Sejarah dan Pertumbuhannya di Dunia

Selama paruh kedua abad ke-20, jumlah parlemen bertambah secara dramatis di seluruh dunia. Menurut kajian the Inter-Parliamentary Union (IPU), sebanyak 190 dari 193 negara memiliki lembaga perwakilan, dengan susunan anggota sebanyak 46.000 wakil rakyat. Meskipun demikian, diantara jumlah itu, hanya 45% yang benar-benar lembaga demokratis, sementara 20% lainnya bercorak sebagai “hybrid regime.” Dengan kata lain, keberadaan lembaga parlemen tidak serta merta bersinonim dengan demokrasi dan sebaliknya, keberadaannya amat ditentukan oleh faktor politik.  Keberadaan lembaga perwakilan penting sebagai gagasan legitimasi negara dan kemampuanny auntuk menghadirkan kepentingan umum. Dalam konteks ini, lembaga perwakilan membentuk hubungan antara perhatian kepentingan rakyat dengan apa yang dapat diberikan. Parlemen kemudian dianggap begitu berkuasa, berpengaruh, tetapi eksistensi forum publik untuk mewujudkannya merupakan suatu prasyarat untuk legitimasi pemerintah.

Dewasa ini parlemen mempunyai akar dalam bermacam-macam konteks, yang merefleksikan kecenderungan semua bentuk masyarakat untuk membentuk suatu badan guna berdikusi, bermusyawarah, dan mewakili kepentingan rakyat. Bentuk-bentuk kelembagaan semacam ini dikenal di banyak negara, dari bentuk “Majelis” yang lazim dipraktikkan di Arab sampai apa yang dikenal sebagai “the panchayat” di India. Di Afrika, suku-suku mewujudkannya dalam berbagai bentuk dan aturan. Di Afganistan, jirgas digunakan untuk meredam konflik dan saluran untuk memperluas komunikasi. Kebutuhan untuk bersama-sama, berbicara, dan mewakili diwujudkan dari penamaan parlemen. Di sejumlah negara, lembaga perwakilan dinamakan “parliament” yang terambil dari bahasa Prancis “parler”, yang artinya berbicara, karena bagaimanapun itulah tujuan dari setiap anggota parlemen.  Hampir 40% nama parlemen di dunia ditujukan dengan istilah yang berarti “pertemuan” atau “majelis” seperti congress, Diet (Jepang), Knesset (Israel), Skupstina (di beberapa negara Balkan), Majlis (di banyak negara Arab). Dalam tradisi Nordic, istilah yang dipakai Riksdagen (misalnya Finlandia, Swedia) yang dapat diterjemahkan sebagai “pertemuan nyata” ; kemudian istilah Althingi (Islandia), Folketinget (Denmark), dan Starting (Norwegia).

Suatu jajak pendapat oleh World Public Opinion menekankan pentingnya keterwakilan sebagai prinsip pemerintah yang telah mendunia, di mana ada 85% pendapat yang percaya bahwa kehendak rakyat  harus menjadi dasar pemerintahan” dan 84% menyatakan bahwa pemimpin pemerintahan harus dipilih melalui pemilu. Pendapat seperti itu diperkuat dengan fenomena Arab Spring di awal 2011 yang menempatkan  keterwakilan parlemen sebagai tuntutan rakyat dan pencapaian demokrasi yang lebih besar. Di negara Mesir dan Tunisia, peran dan kekuasaan parlemen sangat penting untuk membahas pembentukan negara pasca revolusi. Serupa dengan itu, di negara Yaman, Yordania, dan Oman, janji untuk mengembalikan kedaulatan parlemen banyak dilakukan untuk memenuhi gugatan rakyat. Perndeknya, Parlemen tampak sebagai simbol dan elemen kunci pembentukan “pemerintahan perwakilan.”

Berbagai struktur parlemen yang ada di dunia sekarang ini berpangkal kepada tradisi Eropa sejak abad pertengahan. Parlemen Islandia, Athingi, dianggap sebagai parlemen yang ada pertama kali di dunia, sejak tahun 930 SM, sebagai forum permusyawaratan pemimpin-pemimpin lokal. House of Commons (Inggris) sudah ada sejak abad ke-13, sebagai tempat berdiskusi masalah kenegaraan dan persetujuan transfer dana dari kerajaan kepada komunitas lokal. .

Bentuk-bentuk itu kemudian ditularkan ke banyak negara terutama selama masa kolonisasi oleh Eropa. Perkembangan menjadi bentuk demokrasi modern dilakukan oleh Amerika pada abad ke-17 dan abad ke-18. Para pendiri negara mempertimbangkan pembentukan suatu majelis di setiap 13 koloni untuk memeisahkan diri dari kekuasaan Inggris dan , setelah merdeka, menjadi parlemen negara bagian  yang terpisah dari eksekutif, dan dengan cara masing-masing memperoleh kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang. Pengaruh model Amerika ini kemudian menyebar di banyak negara, terutama di kawasan Amerika Latin dan Tengah.

Di Eropa, sebaliknya, Parlemen tumbuh seiring dengan sejarah panjang pemerintahan, dengan kekuasaan yang ditentukan sebagai bagian dari hubungan dengan kerajaan. Sebagai hasilnya, ada sebaran yang kompleks mengenai kekuasaan eksekutif dan legislatif, dalam hal mana Parlemen, kemudian mempunyai kekuasaan semakin besar dan berhubungan dengan kelahiran partai politik. Model Eropa ini banyak mempengaruhi struktur parlemen di Afrika, Asia, dan Timur Tengah.

Warisan historis parlemen sampai sekarang masih terus menerus berlangsung. Evolusi parlemen di bekas negara komunis di Eropa Timur pada 1990, misalnya, merupakan campuran dari sejarah panjang setiap negara yang bersangkutan. Misalnya, Polandia, parlemen memiliki kekuasaan besar hingga akhir abad ke-18 dan merupakan warisan Soviet, akan tetapi juga dipengaruhi model Jerman, merupakan contoh pertumbuhan yang mencerminkan lokalitas dalam perjalanan perubahan sistem diktator ke demokrasi.

Parlemen Afrika dan di anak benua India secara tajam tampak sebagai warisan kolonialisme. Praktik penjajahan Inggris yang membentuk badan legislatif di wilayah tersebut tidak diikuti dengan kekuasaan legislatif, akan tetapi cenderung untuk berperan sebagai badan penasehat guna memberikan pertimbangan ke pemerintahan Inggris. Sekalipun Parlemen di Kenya sudah ada sejak 1906, tetapi anggotanya tak pernah dilantik sampai tahun 1944.  Namun lembaga semacam ini menjadi dasar pembentukan parlemen di banyak negara Afrika setelah kemerdekaan. Meskipun diantara negara itu mengalami sistem presidensial sejak zaman penjajaan Inggris, akan tetapi juga membentuk parlemen model Westminter, yang dipilih lewat pemilu, dengan keterbatasan pengaruh atas kebijakan publik dan anggaran. Parlemen di Australia dan Selandia Baru, serta Kanada, jelas melanjutkan tradisi kolonial dan model pertanggungjawaban pemerintah mereka ditiru di banyak negara.  Namun model parlementer Inggris semacam itu tidak banyak dikenal di negara Afrika yang dijajah oleh Prancis. Tetapi setelah merdeka, negara-negara ini sekaligus mengadopsi tradisi Prancis, Belgia, dan Portugis.

Susunan keanggotaan parlemen tidak sama di setiap negara. Di Cina, Kongres Rakyat Nasional mempunyai 3.000 anggota, terbesar di dunia, dan diikuti oleh Inggris dengan 1.400 anggota untuk kedua kamar parlemen. Rasio terhadap jumlah penduduk juga bermacam-macam. Di India, 1 anggota berbanding dengan 1,5 juta penduduk. Di Amerika rasio itu sekitar 590.000 dan Bangladesh 470.000. Di Tuvalu, setiap 15 anggota Parlemen mewakili 667 orang dan di San Marino, satu anggota mewakili 517 orang.

Sehubungan dengan pengaruh dan kekuasaan, jenis-jenis parlemen tertentu disatukan sebagai badan penasehat, seperti Majelis Syura di Arab Saudi. Badan ini didirikan pada 1993, yang ditunjuk sebagai lembaga penasehat, tanpa kekuasaan legislatif dan pengawasan, tetapi efektif menjalankan fungsi kepansehatan terhadap monarki. Model ini sama dengan model Soviet dulu, seperti yang ada di Vietnam, yang hanya rapat 2 kali sebulan dalam setahun dan kekuasaan legislatif diperoleh dari Partai Komunis.

Kongress Meksiko, setiap anggota dapat dipilih hanya untuk satu periode dan dilarang mencalonkan diri kembali, guna membatasi pengaruh parlemen. Di ujung spectrum lain, Kongress di Amerika dan Bundestag di Jerman begitu berpengaruh dalam perpolitikan nasional.anggaran Kongres Amerika adalah yang terbesar di dunia (US$ 5,12 miliar), diikuti dengan Jepang (US$ 1,71 miliar), dan Prancis (US$ 1,17 miliar).

Sumber : http://politik.kompasiana.com/2013/05/24/parlemen-sejarah-dan-pertumbuhan-di-dunia-562889.html

Tuesday, November 18, 2014

Parlemen Jepang Meloloskan RUU Perlindungan Mantan Pacar


Kopi Paste, Majelis Rendah Jepang meluluskan rancangan undang-undang (RUU) yang mengatur larangan penyebaran gambar porno mantan pacar, termasuk internet dan video.

Setelah itu, Majelis Rendah Jepang akan meminta Majelis Tinggi Jepang untuk menyetujuinya sebagai undang-undang (UU).

Melalui RUU ini setiap orang yang diketahui menyebarkan gambar porno mantan pacarnya akan didenda USD4.300 atau sekira Rp51.600.000.

RUU ini keluar karena merebaknya kasus pembunuhan yang dilakukan oleh pria yang marah terhadap mantan kekasihnya karena cintanya kandas.

Selain itu, RUU ini juga mencegah pria yang meluapkan sakit hatinya dengan menyebarkan gambar porno mantan kekasihnya. Selain itu, RUU ini mencegah gambar porno beredar dan dapat dilihat anak-anak.

Seperti dilansir Channel News Asia, Selasa (18/11/2014), pada 2013, Kepolisian Jepang menahan 318 orang yang menyebarkan gambar porno mantan kekasihnya.

Kepolisian Jepang menyatakan kemajuan teknologi dan penyebaran smartphone menjadikan kejahatan jenis ini beredar luas.

Sumber :

Wednesday, November 12, 2014

Daftar Daerah Yang Akan Melaksanakan Pilkada Serentak Pada Tahun 2015

Kopi Paste, PU berencana akan menggelar serentak seluruh Pilkada yang masa jabatan pemerintahannya berakhir 2015 dalam satu waktu. Berdasarkan data terbaru, total ada 8 provinsi, 170 kabupaten dan 26 kota yang akan menggelar Pilkada sepanjang tahun 2015.

Untuk mewujudkan Pilkada serentak, KPU sendiri saat ini tengah bekerja keras menyusun sejumlah peraturan untuk Pilkada serentak akibat lahirnya Perpu dari Presiden tersebut.

"KPU dan Bawaslu siap menyelenggarakan pemungutan suara secara serentak bagi semua daerah yang jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2015 sebagaimana diamanatkan dalam Perpu Nomor 1 tersebut. KPU akan segera menetapkan waktunya," ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik dalam siaran pers yang diterima detikcom, Kamis (6/11/2014).

Husni mengatakan, KPU dan Bawaslu memandang perlu segera melakukan rapat koordinasi dengan kementerian dan pemangku kepentingan terkait. Selanjutnya, akan dilakukan sosialiasi kepada gubernur, bupati dan wali kota yang akan menyelenggarakan pemilihan pada 2015.

Berikut daftar daerah yang akan menggelar Pilkada serentak tahun depan:

8 Provinsi yang terdiri dari:
1. Kalimantan Utara
2. Jambi
3. Kalimantan Tengah
4. Kalimantan Selatan
5. Sumatera Barat
6. Kepulauan Riau
7. Sulawesi Utara
8. Bengkulu

Provinsi Sumatera Utara
1. Kota Medan
2. Kab. Serdang Bedagai
3. Kab. Tapanuli Selatan
4. Kab. Toba Samosir
5. Kota Binjai
6. Kab. Labuhan Batu
7. Kab. Asahan
8. Kota Sibolga
9. Kab. Pakpak Barat
10. Kab. Humbang Hasundutan
11. Kab. Samosir
12. Kota Pematang Siantar
13. Kab. Simalungun
14. Kab. Labuhanbatu Utara

Provinsi Sumatera Barat
15. Kab. Solok
16. Kab. Dharmasraya
17. Kota Bukit Tinggi
18. Kab. Solok Selatan
19. Kab. Pasaman Barat
20. Kab. Pasaman
21. Kota Solok
22. Kab. Pesisir Selatan
23. Kab. Sijunjung
24. Kab. Tanah Datar
25. Kab. Padang Pariaman
26. Kab. Agam
27. Kab. Lima Puluh Kota 

Provinsi Riau
28. Kab. Kep. Meranti
29. Kab. Indragiri Hulu
30. Kab. Bengkalis
31. Kota Dumai

Provinsi Sumatera Selatan
32. Kab. Penungkal Arab Lematang Ilir
33. Kab. Musirawas Utara
34. Kab. Ogan Komering Hulu
35. Kab. Ogan Ilir
36. Kab OKU Selatan
37. Kab. OKU Timur
38. Kab. Musi Rawas

Provinsi Bengkulu
39. Kab. Muko-muko
40. Kab. Seluma
41. Kab. Kepahiang
42. Kab. Lebong
43. Kab. Bengkulu Selatan
44. Kab. Rejang Lebong

Provinsi Lampung
45. Kab. Pesisir Barat
46. Kab. Lampung Selatan
47. Kota Metro
48. Kab. Way Kanan
49. Kab. Lampung Timur
50. Kab. Pesawaran
51. Kab. Bandar Lampung
52. Kab. Lampung Tengah

Provinsi Kepulaian Bangka Belitung
53. Kab. Bangka Selatan
54. Kab. Belitung Timur
55. Kab. Bangka Tengah
56. Kab. Bangka Barat

Provinsi Kepulauan Riau
57. Kab. Kepualaun Anambas
58. Kab. Bintan
59. Kab. Lingga
Provinsi Jawa Barat
60. Kab. Pangandaran
61. Kab. Sukabumi
62. Kab. Indramayu
63. Kab. Bandung
64. Kab. Karawang

Provinsi Jawa Tengah
65. Kota Semarang
66. Kab. Rembang
67. Kab. Kebumen
68. Kab. Purbalingga
69. Kota Surakarta
70. Kab. Boyolali
71. Kota Pekalongan 
72. Kab. Blora
73. Kab. Kendal
74. Kota Magelang
75. Kab. Sukoharjo
76. Kab. Semarang
77. Kab. Wonosobo
78. Kab. Purworejo
79. Kab. Wonogiri
80. Kab. Klaten

Provinsi DI Yogyakarta
81. Kab. Bantul
82. Kab. Gunung Kidul
83. Kab. Sleman

Provinsi Jawa Timur
84. Kab. Ngawi
85. Kota Blitar
86. Kab. Lamongan
87. Kab. Jember
88. Kab. Ponorogo
89. Kab. Kediri
90. Kab. Sitibondo
91. Kab. Gresik
92. Kota Surabaya
93. Kab. Trenggalek
94. Kota Pasuruan
95. Kab. Mjokerto
96. Kab. Sumenep
97. Kab. Banyuwangi
98. Kab. Malang
99 Kab. Sidoarjo

Provinsi Banten
100. Kota Cilegon
101. Kab. Serang

Provinsi Bali
102. Kab. Karang Asem
103. Kab. Badung
104. Kab. Bangli
105. Kab. Tabanan
106. Kota Denpasar

Provinsi NTB
108. Kab. Lombok Utara
109. Kab. Bima
110. Kota Mataram
111. Kab. Sumbawa Barat
112. Kab.Dompu
113. Kab. Lombok Tengah

Provinsi NTT
114. Kab. Malaka
115 Kab. Belu
116. Kab. Manggarai Barat
117. Kab. Sumba Timur
118. Kab. Manggarai
119. Kab. Ngada
120. Kab Sumba Barat
121. Kab Timor Tengah Utara

Provinsi Kalimantan Barat
122. Kab. Kapuas Hulu
123. Kab. Bengkayang
124. Kab. Sekadau
125. Kab. Melawi
126. Kab. Sintang
127. Kab. Ketapang

Provinsi Kalimantan Tengah
128. Kab. Kotawaringin Timur

Provinsi Kalimantan Selatan
129. Kab. Banjar Selatan
130. Kab. Kota Baru
131. Kota Banjar Baru
132. Kota Banjarmasin
133. Kab. Balangan
134. Kab. Hulu Sungai Tengah
135. Kab. Tanah Bumbu

Provinsi Kalimantan Timur
136. Kab. Mahakam ulu
137. Kab. Kutai Kartanegara
138. Kab. Paser
139. Kab. Berau
140. Kota Samarinda

Provinsi Kalimantan Utara
141. Kab. Tana Tidung
142. Kab. Bulungan

Provinsi Sulawesi Utara
143. Kab. Bolmong Timur
144. Kab. Minahsa Utara
145. Kota Manda
146. Kab. Minahasa Selatan
147. Kab. Balmong Selatan

Provinsi Sulawesi Tengah
148. Kab. Banggai Laut
149. Morowali Utara
150. Kab. Tojo Una-Una
151. Kab. Poso
152. Kab. Toli-Toli
153. Kota Palu
154. Kab. Sigi

Provinsi Sulawesi Selatan
155. Kab. Pangkajene Kep.
156. Kab. Barru
157. Kab. Moros
158. Kab. Gowa
159. Kab. Luwu Timur
160. Kab. Tana Toraja
161. Kab. Kepulauan Selayar
162. Kab. Soppeng
163. Kab. Luwu Utara
164. Kab. Bulukumba

Provinsi Sulawesi Tenggara
165. Kab. Kolaka Timur
166. Kab. Buton Utara
167. Kab. Konawe Selatan
168. Kab. Muna
169. Kab. Konawe Kepulauan
170. Kab. Muna Barat
171. Kab. Buton Selatan
172. Kab. Buton Tengah
173. Kab. Gorontalo
174. Kab. Bone Bolango
175. Kab. Pohuwato

Provinsi Sulawesi Barat
176. Kab. Mamuju tengah
177. Kab. Mamuju Utara
178. Kab. Mamuju

Provinsi Maluku
179. Kab. Seram Bagian Barat
180. Kab. Kepulauan Aru

Provinsi Maluku Utara
181. Kab. Pulau Taliabu
182. Kota Ternate
183 Kab. Halmahera Timur
184. Kab. Kepulauan Sula
185. Kab. Halmahera Utara
186. Kota Tidore Kepulauan

Provinsi Papua
187. Kab. Nabire
188. Kab. Asmat
189. Kab. Keerom
190. Kab. Warofen

Provinsi Papua Barat
191. Kab. Pegunungan Arfak
192. Kab. Manokwari Selatan
193. Kab. Sorong Selatan
194. Kab. Raja Ampat
195. Kab. Kaimana
196. Kab. Teluk Bintuni
197. Kab. Fakfak

Sumber : http://news.detik.com/read/2014/11/07/025217/2741477/10/5/daftar-daerah-yang-akan-laksanakan-pilkada-serentak-2015

Tuesday, November 11, 2014

Tentang DPRD Kabupaten dan Kota

BAB VI
DPRD KABUPATEN/KOTA
Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan
Pasal 363
DPRD kabupaten/kota terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 364
DPRD kabupaten/kota merupakan lembaga perwakilan rakyat daerah yang berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah kabupaten/kota.
Bagian Kedua . . .
- 180 -
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 365
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat di kabupaten/kota.
Bagian Ketiga
Wewenang dan tugas
Pasal 366
(1) DPRD kabupaten/kota mempunyai wewenang dan tugas:
a. membentuk peraturan daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
b. membahas dan memberikan persetujuan rancangan peraturan daerah mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota yang diajukan oleh bupati/walikota;
c. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah kabupaten/kota;
d. mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota kepada Menteri Dalam Negeri melalui gubernur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan dan/atau pemberhentian;
e. memilih wakil bupati/wakil walikota dalam hal terjadi kekosongan jabatan wakil bupati/wakil walikota;
f. memberikan . . .
- 181 -
f. memberikan pendapat dan pertimbangan kepada pemerintah daerah kabupaten/kota terhadap rencana perjanjian internasional di daerah;
g. memberikan persetujuan terhadap rencana kerja sama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota;
h. meminta laporan keterangan pertanggungjawaban bupati/walikota dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
i. memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama dengan daerah lain atau dengan pihak ketiga yang membebani masyarakat dan daerah;
j. mengupayakan terlaksananya kewajiban daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
k. melaksanakan wewenang dan tugas lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Bagian Keempat
Keanggotaan
Pasal 367
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota berjumlah paling sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 50 (lima puluh) orang.
(2) Keanggotaan DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota berdomisili di ibu kota kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota yang baru mengucapkan sumpah/janji.
Pasal 368 . . .
- 182 -
Pasal 368
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri dalam rapat paripurna DPRD kabupaten/kota.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Pasal 369
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Pasal 370 . . .
- 183 -
Pasal 370
(1) Dalam hal dilakukan pembentukan kabupaten/kota setelah pemilihan umum, pengisian anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum dilakukan dengan cara:
a. menetapkan jumlah kursi DPRD kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum berdasarkan jumlah penduduk sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
b. menetapkan perolehan suara partai politik dan calon anggota DPRD kabupaten/kota berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
c. menentukan bilangan pembagi pemilih berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
d. menentukan perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum berdasarkan hasil pemilihan umum di daerah pemilihan kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum;
e. menetapkan calon terpilih dari daftar calon tetap untuk mengisi kursi sebagaimana dimaksud pada huruf d berdasarkan suara terbanyak.
(2) Pengisian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh KPU kabupaten/kota induk.
(3) Pengisian anggota DPRD provinsi tidak dilakukan bagi kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum yang dibentuk 12 (dua belas) bulan sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(4) Masa . . .
- 184 -
(4) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir pada saat anggota DPRD kabupaten/kota hasil pemilihan umum berikutnya mengucapkan sumpah/janji.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan jumlah dan tata cara pengisian keanggotaan DPRD kabupaten/kota induk dan kabupaten/kota yang dibentuk setelah pemilihan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan KPU sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima
Hak DPRD Kabupaten/Kota
Pasal 371
(1) DPRD kabupaten/kota berhak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk meminta keterangan kepada bupati/walikota mengenai kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah kabupaten/kota yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPRD kabupaten/kota untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan bupati/walikota atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di daerah disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket.
Bagian Keenam . . .
- 185 -
Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Anggota
Paragraf 1
Hak Anggota
Pasal 372
Anggota DPRD kabupaten/kota berhak:
a. mengajukan rancangan peraturan daerah kabupaten/kota;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas;
g. mengikuti orientasi dan pendalaman tugas;
h. protokoler; dan
i. keuangan dan administratif.
Paragraf 2
Kewajiban Anggota
Pasal 373
Anggota DPRD kabupaten/kota berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah;
g. menaati . . .
- 186 -
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Bagian Ketujuh
Fraksi
Pasal 374
(1) Untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota serta hak dan kewajiban anggota DPRD kabupaten/kota, dibentuk fraksi sebagai wadah berhimpun anggota DPRD kabupaten/kota.
(2) Setiap anggota DPRD kabupaten/kota harus menjadi anggota salah satu fraksi.
(3) Setiap fraksi di DPRD kabupaten/kota beranggotakan paling sedikit sama dengan jumlah komisi di DPRD kabupaten/kota.
(4) Partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota mencapai ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) atau lebih dapat membentuk 1 (satu) fraksi.
(5) Dalam hal partai politik yang jumlah anggotanya di DPRD kabupaten/kota tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), anggotanya dapat bergabung dengan fraksi yang ada atau membentuk fraksi gabungan.
(6) Dalam . . .
- 187 -
(6) Dalam hal tidak ada satu partai politik yang memenuhi persyaratan untuk membentuk fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka dibentuk fraksi gabungan.
(7) Jumlah fraksi gabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) paling banyak 2 (dua) fraksi.
(8) Partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) harus mendudukkan anggotanya dalam 1 (satu) fraksi.
(9) Fraksi mempunyai sekretariat.
(10) Sekretariat DPRD kabupaten/kota menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi sesuai dengan kebutuhan dan dengan memperhatikan kemampuan APBD.
Bagian Kedelapan
Alat Kelengkapan
Pasal 375
(1) Alat kelengkapan DPRD Kabupaten/kota terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah;
c. komisi;
d. Badan Legislasi Daerah;
e. Badan Anggaran;
f. Badan Kehormatan; dan
g. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan dibantu oleh sekretariat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Pasal 376 . . .
- 188 -
Pasal 376
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota terdiri atas:
a. 1 (satu) orang ketua dan 3 (tiga) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 45 (empat puluh lima) sampai dengan 50 (lima puluh) orang;
b. 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 44 (empat puluh empat) orang.
(2) Pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari partai politik berdasarkan urutan perolehan kursi terbanyak di DPRD kabupaten/kota.
(3) Ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperolah kursi terbanyak pertama di DPRD kabupaten/kota.
(4) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak.
(5) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh suara terbanyak sama sebagaimana dimaksud pada ayat (4), penentuan ketua DPRD kabupaten/kota dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politikyang lebih luas secara berjenjang.
(6) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), wakil ketua DPRD kabupaten/kota ialah anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh suara terbanyak kedua, ketiga, dan/atau keempat.
(7) Apabila . . .
- 189 -
(7) Apabila masih terdapat kursi wakil ketua DPRD kabupaten/kota yang belum terisi sebagaimana dimaksud pada ayat (6), maka kursi wakil ketua diisi oleh anggota DPRD kabupaten/kota yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua.
(8) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sama, wakil ketua sebagaimana dimaksud pada ayat (7) ditentukan berdasarkan urutan hasil perolehan suara terbanyak.
(9) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (7), penentuan wakil ketua DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (8) dilakukan berdasarkan persebaran wilayah perolehan suara partai politik yang lebih luas secara berjenjang.
Pasal 377
(1) Dalam hal pimpinan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 376 ayat (1) belum terbentuk, DPRD kabupaten/kota dipimpin oleh pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota.
(2) Pimpinan sementara DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 1 (satu) orang wakil ketua yang berasal dari 2 (dua) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama dan kedua di DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal terdapat lebih dari 1 (satu) partai politik yang memperoleh kursi terbanyak sama, ketua dan wakil ketua sementara DPRD kabupaten/kota ditentukan secara musyawarah oleh wakil partai politik bersangkutan yang ada di DPRD kabupaten/kota.
(4) Ketua dan wakil ketua DPRD kabupaten/kota diresmikan dengan keputusan gubernur.
(5) Pimpinan DPRD kabupaten/kota sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 390 yang dipandu oleh ketua pengadilan negeri.
(6) Ketentuan . . .
- 190 -
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan pimpinan DPRD kabupaten/kota diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Pasal 378
Komisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 375 ayat (1) huruf c dibentuk dengan ketentuan:
a. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 3 (tiga) Komisi;
b. DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan lebih dari 35 (tiga puluh lima) orang membentuk 4 (empat) Komisi.
Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Hak DPRD Kabupaten/Kota
Paragraf 1
Hak Interpelasi
Pasal 379
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 ayat (1) huruf a diusulkan oleh:
a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima);
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul . . .
- 191 -
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
Pasal 380
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Paragraf 2
Hak Angket
Pasal 381
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 ayat (1) huruf b diusulkan oleh:
a. paling sedikit 5 (lima) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
b. paling sedikit 7 (tujuh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua pertiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
Pasal 382 . . .
- 192 -
Pasal 382
(1) DPRD kabupaten/kota memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 381 ayat (1).
(2) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPRD kabupaten/kota membentuk panitia angket yang terdiri atas semua unsur fraksi DPRD kabupaten/kota dengan keputusan DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal DPRD kabupaten/kota menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 383
(1) Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 381 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 381 ayat (3), dapat memanggil pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dianggap mengetahui atau patut mengetahui masalah yang diselidiki untuk memberikan keterangan dan untuk meminta menunjukkan surat atau dokumen yang berkaitan dengan hal yang sedang diselidiki.
(2) Pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota yang dipanggil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan DPRD kabupaten/kota kecuali ada alasan yang sah menurut peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal pejabat pemerintah kabupaten/kota, badan hukum, atau warga masyarakat di kabupaten/kota telah dipanggil dengan patut secara berturut-turut tidak memenuhi panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), DPRD kabupaten/kota dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 384 . . .
- 193 -
Pasal 384
Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPRD kabupaten/kota paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket.
Pasal 385
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Paragraf 3
Hak Menyatakan Pendapat
Pasal 386
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 371 ayat (1) huruf c diusulkan oleh:
a. paling sedikit 8 (delapan) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) orang;
b. paling sedikit 10 (sepuluh) orang anggota DPRD kabupaten/kota dan lebih dari 1 (satu) fraksi untuk DPRD kabupaten/kota yang beranggotakan di atas 35 (tiga puluh lima) orang.
(2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPRD kabupaten/kota apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPRD kabupaten/kota yang dihadiri paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota dan putusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir.
Pasal 387 . . .
- 194 -
Pasal 387
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Bagian Kesepuluh
Pelaksanaan Hak Anggota
Paragraf 1
Hak Imunitas
Pasal 388
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak imunitas.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPRD kabupaten/kota ataupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPRD kabupaten/kota maupun di luar rapat DPRD kabupaten/kota yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dimaksud dalam ketentuan mengenai rahasia negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 2 . . .
- 195 -
Paragraf 2
Hak Protokoler
Pasal 389
(1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak protokoler.
(2) Hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan pemerintah.
Paragraf 3
Hak Keuangan dan Administratif
Pasal 390
(1) Pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
(3) Dalam menjalankan wewenang dan tugasnya, pimpinan dan anggota DPRD kabupaten/kota berhak memperoleh tunjangan yang besarannya disesuaikan dengan kemampuan daerah.
(4) Pengelolaan keuangan dan tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh sekretariat DPRD kabupaten/kota sesuai dengan peraturan pemerintah.
Bagian Kesebelas
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
Paragraf 1
Persidangan
Pasal 391
(1) Pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPRD kabupaten/kota dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(2) Tahun . . .
- 196 -
(2) Tahun sidang dibagi dalam 3 (tiga) masa persidangan.
(3) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPRD kabupaten/kota, masa reses ditiadakan.
Pasal 392
Semua rapat di DPRD kabupaten/kota pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Pasal 393
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Paragraf 2
Pengambilan Keputusan
Pasal 394
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPRD kabupaten/kota pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
Pasal 395
(1) Setiap rapat DPRD kabupaten/kota dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum . . .
- 197 -
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila:
a. rapat dihadiri oleh paling sedikit 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk mengambil persetujuan atas pelaksanaan hak angket dan hak menyatakan pendapat serta untuk mengambil keputusan mengenai usul pemberhentian bupati/walikota dan/atau wakil bupati/wakil walikota;
b. rapat dihadiri oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk memberhentikan pimpinan DPRD kabupaten/kota serta untuk menetapkan peraturan daerah dan anggaran pendapatan dan belanja daerah;
c. rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota untuk rapat paripurna DPRD kabupaten/kota selain rapat sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b.
(3) Keputusan rapat dinyatakan sah apabila:
a. disetujui oleh paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a;
b. disetujui oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang hadir, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b;
c. disetujui dengan suara terbanyak, untuk rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c.
(4) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 1 (satu) jam.
(5) Apabila pada akhir waktu penundaan rapat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) kuorum belum juga terpenuhi, pimpinan dapat menunda rapat paling lama 3 (tiga) Hari atau sampai waktu yang ditetapkan oleh Badan Musyawarah.
(6) Apabila . . .
- 198 -
(6) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b, rapat tidak dapat mengambil keputusan.
(7) Apabila setelah penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum juga terpenuhi, terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dan pimpinan fraksi.
Pasal 396
Setiap keputusan rapat DPRD kabupaten/kota, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak, merupakan kesepakatan untuk ditindaklanjuti oleh semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
Pasal 397
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
Bagian Kedua Belas
Tata Tertib dan Kode Etik
Paragraf 1
Tata Tertib
Pasal 398
(1) Tata tertib DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh DPRD kabupaten/kota dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata . . .
- 199 -
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPRD kabupaten/kota.
(3) Tata tertib DPRD kabupaten/kota paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan;
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan rapat;
e. pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan;
g. penggantian antarwaktu anggota;
h. pembuatan pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara DPRD kabupaten/kota dan pemerintah daerah kabupaten/kota;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pengaturan protokoler; dan
l. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli.
Paragraf 2
Kode Etik
Pasal 399
DPRD kabupaten/kota menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPRD kabupaten/kota.
Bagian Ketiga . . .
- 200 -
Bagian Ketiga Belas
Larangan dan Sanksi
Paragraf 1
Larangan
Pasal 400
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara atau pejabat daerah lainnya;
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPRD kabupaten/kota serta hak sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Paragraf 2
Sanksi
Pasal 401
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Badan Kehormatan.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Anggota . . .
- 201 -
(3) Anggota DPRD kabupaten/kota yang dinyatakan terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
Pasal 402
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 401 ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Pasal 403
Setiap orang, kelompok, atau organisasi dapat mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota dalam hal memiliki bukti yang cukup bahwa terdapat anggota DPRD kabupaten/kota yang tidak melaksanakan salah satu kewajiban atau lebih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 373 dan/atau melanggar ketentuan larangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 400.
Pasal 404
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengaduan masyarakat dan penjatuhan sanksi diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Bagian Keempat Belas
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Paragraf 1
Pemberhentian Antarwaktu
Pasal 405
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal . . .
- 202 -
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPRD kabupaten/kota selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPRD kabupaten/kota;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun;
d. tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPRD kabupaten/kota yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
e. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
f. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPRD kabupaten/kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum;
g. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
h. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
i. menjadi anggota partai politik lain.
Pasal 406 . . .
- 203 -
Pasal 406
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf e, huruf h, dan huruf i diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota dengan tembusan kepada gubernur.
(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2), bupati/walikota menyampaikan usul tersebut kepada gubernur.
(4) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota dari bupati/walikota.
Pasal 407
(1) Pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf d, huruf f, dan huruf g, dilakukan setelah adanya hasil penyelidikan dan verifikasi yang dituangkan dalam keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota atas pengaduan dari pimpinan DPRD kabupaten/kota, masyarakat dan/atau pemilih.
(2) Keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota mengenai pemberhentian anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada rapat paripurna.
(3) Paling . . .
- 204 -
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota yang telah dilaporkan dalam rapat paripurna sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota kepada pimpinan partai politik yang bersangkutan.
(4) Pimpinan partai politik yang bersangkutan menyampaikan keputusan tentang pemberhentian anggotanya kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota, paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dari pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(5) Dalam hal pimpinan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak memberikan keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pimpinan DPRD kabupaten/kota meneruskan keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada gubernur melalui bupati/walikota untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(6) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya keputusan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5), bupati/walikota menyampaikan keputusan tersebut kepada gubernur.
(7) Gubernur meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya keputusan Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota atau keputusan pimpinan partai politik tentang pemberhentian anggotanya dari bupati/walikota.
Pasal 408
(1) Dalam hal pelaksanaan penyelidikan dan verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 407 ayat (1), Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota dapat meminta bantuan dari ahli independen.
(2) Ketentuan . . .
- 205 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelidikan, verifikasi, dan pengambilan keputusan oleh Badan Kehormatan DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata beracara Badan Kehormatan.
Paragraf 2
Penggantian Antarwaktu
Pasal 409
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 405 ayat (1) dan Pasal 406 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota, anggota DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPRD kabupaten/kota yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota yang digantikannya.
Pasal 410
(1) Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU kabupaten/kota.
(2) KPU . . .
- 206 -
(2) KPU kabupaten/kota menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 406 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPRD kabupaten/kota paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPRD kabupaten/kota.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pimpinan DPRD kabupaten/kota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur melalui bupati/walikota.
(4) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), bupati/walikota menyampaikan nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada gubernur.
(5) Paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari bupati/walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (4), gubernur meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan gubernur.
(6) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPRD kabupaten/kota pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang pengucapannya dipandu oleh pimpinan DPRD kabupaten/kota, dengan tata cara dan teks sumpah/janji sebagaimana diatur dalam Pasal 368 dan Pasal 369.
(7) Penggantian antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPRD kabupaten/kota yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Pasal 411 . . .
- 207 -
Pasal 411
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan penggantian antarwaktu, verifikasi terhadap persyaratan calon pengganti antarwaktu, dan peresmian calon pengganti antarwaktu anggota DPRD kabupaten/kota diatur dengan peraturan pemerintah.
Paragraf 3
Pemberhentian Sementara
Pasal 412
(1) Anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPRD kabupaten/kota.
(3) Dalam hal anggota DPRD kabupaten/kota dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPRD kabupaten/kota yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPRD kabupaten/kota yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPRD kabupaten/kota tentang tata tertib.
BAB VII . . .
- 208 -

Tentang Dewan Perwakilan Rakyat

BAB III
DPR
Bagian Kesatu
Susunan dan Kedudukan
Pasal 67
DPR terdiri atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan umum.
Pasal 68
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara.
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 69
(1) DPR mempunyai fungsi:
a. legislasi;
b. anggaran; dan
c. pengawasan.
(2) Ketiga fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijalankan dalam kerangka representasi rakyat, dan juga untuk mendukung upaya Pemerintah dalam melaksanakan politik luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 70
(1) Fungsi legislasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf a dilaksanakan sebagai perwujudan DPR selaku pemegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Fungsi . . .
- 31 -
(2) Fungsi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden.
(3) Fungsi pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dilaksanakan melalui pengawasan atas pelaksanaan undang-undang dan APBN.
Bagian Ketiga
Wewenang dan Tugas
Paragraf 1
Wewenang
Pasal 71
DPR berwenang:
a. membentuk undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama;
b. memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang;
c. membahas rancangan undang-undang yang diajukan oleh Presiden atau DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, dengan mengikutsertakan DPD sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden;
d. memperhatikan pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama;
e. membahas . . .
- 32 -
e. membahas bersama Presiden dengan memperhatikan pertimbangan DPD dan memberikan persetujuan atas rancangan undang-undang tentang APBN yang diajukan oleh Presiden;
f. membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan yang disampaikan oleh DPD atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan APBN, pajak, pendidikan, dan agama;
g. memberikan persetujuan kepada Presiden untuk menyatakan perang dan membuat perdamaian dengan negara lain;
h. memberikan persetujuan atas perjanjian internasional tertentu yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang;
i. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi;
j. memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar dan menerima penempatan duta besar negara lain;
k. memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD;
l. memberikan persetujuan kepada Presiden atas pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial;
m. memberikan persetujuan calon hakim agung yang diusulkan Komisi Yudisial untuk ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden; dan
n. memilih 3 (tiga) orang hakim konstitusi dan mengajukannya kepada Presiden untuk diresmikan dengan keputusan Presiden.
Paragraf 2 . . .
- 33 -
Paragraf 2
Wewenang
Tugas
Pasal 72
DPR bertugas:
a. menyusun, membahas, menetapkan, dan menyebarluaskan program legislasi nasional;
b. menyusun, membahas, dan menyebarluaskan rancangan undang-undang;
c. menerima rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah;
d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, APBN, dan kebijakan pemerintah;
e. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang disampaikan oleh BPK;
f. memberikan persetujuan terhadap pemindahtanganan aset negara yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan terhadap perjanjian yang berakibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara;
g. menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat; dan
h. melaksanakan tugas lain yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 73 . . .
- 34 -
Pasal 73
(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR.
(2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan.
(4) Dalam hal badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 30 (tiga puluh) Hari sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 74
(1) DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memberikan rekomendasi kepada pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk melalui mekanisme rapat kerja, rapat dengar pendapat, rapat dengar pendapat umum, rapat panitia khusus, rapat panitia kerja, rapat tim pengawas, atau rapat tim lain yang dibentuk oleh DPR demi kepentingan bangsa dan negara.
(2) Setiap . . .
- 35 -
(2) Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, warga negara, atau penduduk wajib menindaklanjuti rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Setiap pejabat negara atau pejabat pemerintah yang mengabaikan rekomendasi DPR, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.
(4) Dalam hal pejabat negara atau pejabat pemerintah mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat atau hak anggota DPR mengajukan pertanyaan.
(5) DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara atau pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan atau mengabaikan rekomendasi DPR.
(6) Dalam hal badan hukum atau warga negara mengabaikan atau tidak melaksanakan rekomendasi DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) DPR dapat meminta kepada instansi yang berwenang untuk dikenai sanksi.
Pasal 75
(1) Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, DPR memiliki kemandirian dalam menyusun anggaran yang dituangkan ke dalam program dan kegiatan disampaikan kepada Presiden untuk dibahas bersama DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk memenuhi kebutuhannya, DPR dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada Presiden untuk dibahas bersama.
(3) Anggaran . . .
- 36 -
(3) Anggaran DPR dikelola oleh Sekretariat Jenderal DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) DPR menetapkan pertanggungjawaban pengelolaan anggaran DPR dalam peraturan DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Keanggotaan
Pasal 76
(1) Anggota DPR berjumlah 560 (lima ratus enam puluh) orang.
(2) Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan Presiden.
(3) Anggota DPR berdomisili di ibu kota negara Republik Indonesia.
(4) Masa jabatan anggota DPR adalah 5 (lima) tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji.
(5) Setiap anggota, kecuali pimpinan MPR dan pimpinan DPR, harus menjadi anggota salah satu komisi.
(6) Setiap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat merangkap sebagai anggota salah satu alat kelengkapan lainnya yang bersifat tetap, kecuali sebagai anggota Badan Musyawarah.
Pasal 77
(1) Anggota DPR sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam rapat paripurna DPR.
(2) Anggota DPR yang berhalangan mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
(3) Ketentuan . . .
- 37 -
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengucapan sumpah/janji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 78
Sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 sebagai berikut:
“Demi Allah (Tuhan) saya bersumpah/berjanji:
bahwa saya, akan memenuhi kewajiban saya sebagai anggota/ketua/wakil ketua Dewan Perwakilan Rakyat dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dengan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
bahwa saya dalam menjalankan kewajiban akan bekerja dengan sungguh-sungguh, demi tegaknya kehidupan demokrasi, serta mengutamakan kepentingan bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi, seseorang, dan golongan;
bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Bagian Kelima
Hak DPR
Pasal 79
(1) DPR mempunyai hak:
a. interpelasi;
b. angket; dan
c. menyatakan pendapat.
(2) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada Pemerintah mengenai kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(3) Hak . . .
- 38 -
(3) Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat atas:
a. kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di tanah air atau di dunia internasional;
b. tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (3); atau
c. dugaan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, maupun perbuatan tercela, dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Bagian Keenam
Hak dan Kewajiban Anggota
Paragraf 1
Hak Anggota
Pasal 80
Anggota DPR berhak:
a. mengajukan usul rancangan undang-undang;
b. mengajukan pertanyaan;
c. menyampaikan usul dan pendapat;
d. memilih dan dipilih;
e. membela diri;
f. imunitas . . .
- 39 -
f. imunitas;
g. protokoler;
h. keuangan dan administratif;
i. pengawasan;
j. mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan; dan
k. melakukan sosialiasi undang-undang.
Paragraf 2
Kewajiban Anggota
Pasal 81
Anggota DPR berkewajiban:
a. memegang teguh dan mengamalkan Pancasila;
b. melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan menaati ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. mempertahankan dan memelihara kerukunan nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
d. mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan;
e. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;
f. menaati prinsip demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara;
g. menaati tata tertib dan kode etik;
h. menjaga etika dan norma dalam hubungan kerja dengan lembaga lain;
i. menyerap dan menghimpun aspirasi konstituen melalui kunjungan kerja secara berkala;
j. menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat; dan
k. memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya.
Bagian Ketujuh . . .
- 40 -
Bagian Ketujuh
Fraksi
Pasal 82
(1) Fraksi merupakan pengelompokkan anggota berdasarkan konfigurasi partai politik berdasarkan hasil pemilihan umum.
(2) Setiap anggota DPR harus menjadi anggota fraksi.
(3) Fraksi dibentuk oleh partai politik yang memenuhi ambang batas perolehan suara dalam penentuan perolehan kursi DPR.
(4) Fraksi dibentuk untuk mengoptimalkan pelaksanaan fungsi, wewenang, tugas DPR, serta hak dan kewajiban anggota DPR.
(5) Fraksi didukung oleh sekretariat dan tenaga ahli.
(6) Sekretariat Jenderal DPR menyediakan sarana, anggaran, dan tenaga ahli guna kelancaran pelaksanaan tugas fraksi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai sarana dan tenaga ahli fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dalam peraturan DPR.
Bagian Kedelapan
Alat Kelengkapan
Pasal 83
(1) Alat kelengkapan DPR terdiri atas:
a. pimpinan;
b. Badan Musyawarah;
c. komisi;
d. Badan Legislasi;
e. Badan Anggaran;
f. Badan Kerja Sama Antar-Parlemen;
g. Mahkamah Kehormatan Dewan;
h. Badan Urusan Rumah Tangga;
i. Panitia . . .
- 41 -
i. panitia khusus; dan
j. alat kelengkapan lain yang diperlukan dan dibentuk oleh rapat paripurna.
(2) Dalam menjalankan tugasnya, alat kelengkapan DPR dibantu oleh unit pendukung yang tugasnya diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
(3) Unit pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. tenaga administrasi; dan
b. tenaga ahli.
(4) Ketentuan mengenai rekrutmen tenaga administrasi dan tenaga ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur lebih lanjut dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 1
Pimpinan
Pasal 84
(1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR.
(2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.
(3) Bakal calon pimpinan DPR berasal dari fraksi dan disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
(4) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan DPR.
(5) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(6) Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak tercapai, pimpinan DPR dipilih dengan pemungutan suara dan yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR.
(7) Selama . . .
- 42 -
(7) Selama pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum terbentuk, sidang DPR pertama kali untuk menetapkan pimpinan DPR dipimpin oleh pimpinan sementara DPR.
(8) Pimpinan sementara DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) berasal dari anggota DPR yang tertua dan termuda dari fraksi yang berbeda.
(9) Pimpinan DPR ditetapkan dengan keputusan DPR.
(10) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 85
Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 sebelum memangku jabatannya mengucapkan sumpah/janji yang teksnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung.
Pasal 86
(1) Pimpinan DPR bertugas:
a. memimpin sidang DPR dan menyimpulkan hasil sidang untuk diambil keputusan;
b. menyusun rencana kerja pimpinan;
c. melakukan koordinasi dalam upaya menyinergikan pelaksanaan agenda dan materi kegiatan dari alat kelengkapan DPR;
d. menjadi juru bicara DPR;
e. melaksanakan dan memasyarakatkan keputusan DPR;
f. mewakili DPR dalam berhubungan dengan lembaga negara lainnya;
g. mengadakan konsultasi dengan Presiden dan pimpinan lembaga negara lainnya sesuai dengan keputusan DPR;
h. mewakili . . .
- 43 -
h. mewakili DPR di pengadilan;
i. melaksanakan keputusan DPR berkenaan dengan penetapan sanksi atau rehabilitasi anggota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
j. menyusun rencana anggaran DPR bersama Badan Urusan Rumah Tangga yang pengesahannya dilakukan dalam rapat paripurna; dan
k. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan tugas pimpinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 87
(1) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR;
c. dinyatakan . . .
- 44 -
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
e. ditarik keanggotaannya sebagai anggota DPR oleh partai politiknya;
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini; atau
g. diberhentikan sebagai anggota partai politik berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota pimpinan lainnya menetapkan salah seorang di antara pimpinan untuk melaksanakan tugas pimpinan yang berhenti sampai dengan ditetapkannya pimpinan yang definitif.
(4) Dalam hal salah seorang pimpinan DPR berhenti dari jabatannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penggantinya berasal dari partai politik yang sama.
(5) Pimpinan DPR diberhentikan sementara dari jabatannya apabila dinyatakan sebagai terdakwa karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(6) Dalam hal pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pimpinan DPR yang bersangkutan melaksanakan kembali tugasnya sebagai pimpinan DPR.
Pasal 88 . . .
- 45 -
Pasal 88
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian dan penggantian pimpinan DPR diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 2
Badan Musyawarah
Pasal 89
Badan Musyawarah dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
Pasal 90
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Musyawarah pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Anggota Badan Musyawarah berjumlah paling banyak 1/10 (satu per sepuluh) dari jumlah anggota DPR berdasarkan perimbangan jumlah anggota tiap-tiap fraksi yang ditetapkan oleh rapat paripurna.
Pasal 91
Pimpinan DPR karena jabatannya juga sebagai pimpinan Badan Musyawarah.
Pasal 92
(1) Badan Musyawarah bertugas:
a. menetapkan agenda DPR untuk 1 (satu) tahun sidang, 1 (satu) masa persidangan, atau sebagian dari suatu masa sidang, perkiraan waktu penyelesaian suatu masalah, dan jangka waktu penyelesaian rancangan undang-undang, dengan tidak mengurangi kewenangan rapat paripurna untuk mengubahnya;
b. memberikan . . .
- 46 -
b. memberikan pendapat kepada pimpinan DPR dalam menentukan garis kebijakan yang menyangkut pelaksanaan wewenang dan tugas DPR;
c. meminta dan/atau memberikan kesempatan kepada alat kelengkapan DPR yang lain untuk memberikan keterangan/penjelasan mengenai pelaksanaan tugas masing-masing;
d. mengatur lebih lanjut penanganan suatu masalah dalam hal undang-undang mengharuskan Pemerintah atau pihak lainnya melakukan konsultasi dan koordinasi dengan DPR;
e. menentukan penanganan suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lain yang diatur dalam undang-undang oleh alat kelengkapan DPR;
f. mengusulkan kepada rapat paripurna mengenai jumlah komisi, ruang lingkup tugas komisi, dan mitra kerja komisi yang telah dibahas dalam konsultasi pada awal masa keanggotaan DPR; dan
g. melaksanakan tugas lain yang diserahkan oleh rapat paripurna kepada Badan Musyawarah.
(2) Badan Musyawarah menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Pasal 93
Badan Musyawarah tidak dapat mengubah keputusan atas suatu rancangan undang-undang atau pelaksanaan tugas DPR lainnya oleh alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1) huruf a.
Pasal 94
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, wewenang dan mekanisme kerja Badan Musyawarah diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 3 . . .
- 47 -
Paragraf 3
Komisi
Pasal 95
Komisi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
Pasal 96
(1) DPR menetapkan jumlah komisi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota komisi ditetapkan dalam rapat paripurna menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR, permulaan tahun sidang, dan pada setiap masa sidang.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah komisi dan jumlah anggota komisi diatur dalam peraturan DPR tentang Tata Tertib.
Pasal 97
(1) Pimpinan komisi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan komisi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota komisi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan komisi.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan komisi berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Pemilihan . . .
- 48 -
(5) Pemilihan pimpinan komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat komisi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan komisi.
(6) Pimpinan komisi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan komisi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 98
(1) Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan rancangan undang-undang.
(2) Tugas komisi di bidang anggaran adalah:
a. mengadakan pembicaraan pendahuluan mengenai penyusunan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
b. mengadakan pembahasan dan mengajukan usul penyempurnaan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya bersama-sama dengan Pemerintah;
c. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, dan program kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi;
d. mengadakan pembahasan laporan keuangan negara dan pelaksanaan APBN termasuk hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
e. menyampaikan hasil pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan hasil pembahasan sebagaimana dimaksud dalam huruf b, huruf c, dan huruf d kepada Badan Anggaran untuk sinkronisasi;
f. membahas . . .
- 49 -
f. membahas dan menetapkan alokasi anggaran untuk fungsi, dan program, kementerian/lembaga yang menjadi mitra kerja komisi berdasarkan hasil sinkronisasi alokasi anggaran kementerian/lembaga oleh Badan Anggaran;
g. menyerahkan kembali kepada Badan Anggaran hasil pembahasan komisi sebagaimana dimaksud dalam huruf f untuk bahan akhir penetapan APBN; dan
h. membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan tahun jamak yang menjadi mitra komisi bersangkutan.
(3) Tugas komisi di bidang pengawasan meliputi:
a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan undang-undang, termasuk APBN, serta peraturan pelaksanaannya yang termasuk dalam ruang lingkup tugasnya;
b. membahas dan menindaklanjuti hasil pemeriksaan BPK yang berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
c. memberikan masukan kepada BPK dalam hal rencana kerja pemeriksaan tahunan, hambatan pemeriksaan, serta penyajian dan kualitas laporan berkaitan dengan ruang lingkup tugasnya;
d. melakukan pengawasan terhadap kebijakan Pemerintah; dan
e. membahas dan menindaklanjuti usulan DPD.
(4) Komisi dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), dapat mengadakan:
a. rapat kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh menteri/pimpinan lembaga;
b. konsultasi dengan DPD;
c. rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya;
d. rapat . . .
- 50 -
d. rapat dengar pendapat umum, baik atas permintaan komisi maupun atas permintaan pihak lain;
e. rapat kerja dengan menteri atau rapat dengar pendapat dengan pejabat Pemerintah yang mewakili instansinya yang tidak termasuk dalam ruang lingkup tugasnya apabila diperlukan; dan/atau
f. kunjungan kerja.
(5) Komisi menentukan tindak lanjut hasil pelaksanaan tugas komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4).
(6) Keputusan dan/atau kesimpulan rapat kerja komisi atau rapat kerja gabungan komisi bersifat mengikat antara DPR dan Pemerintah serta wajib dilaksanakan oleh Pemerintah.
(7) Dalam hal pejabat negara dan pejabat pemerintah tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6), komisi dapat mengusulkan penggunaan hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat atau hak anggota mengajukan pertanyaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(8) DPR dapat meminta Presiden untuk memberikan sanksi administratif kepada pejabat negara dan pejabat pemerintah yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6).
(9) Dalam hal badan hukum atau warga negara tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (6) DPR dapat meminta kepada instansi yang berwenang untuk dikenai sanksi.
(10) Komisi membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan DPR, baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh komisi pada masa keanggotaan berikutnya.
(11) Komisi menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Pasal 99 . . .
- 51 -
Pasal 99
Pembahasan rancangan undang-undang oleh komisi, gabungan komisi, panitia khusus atau Badan Legislasi diselesaikan dalam 3 (tiga) kali masa sidang dan dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR.
Pasal 100
Jumlah, ruang lingkup tugas, dan mitra kerja komisi ditetapkan dengan keputusan DPR.
Pasal 101
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas dan mekanisme kerja komisi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 4
Badan Legislasi
Pasal 102
Badan Legislasi dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
Pasal 103
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi pada permulaan masa keanggotaan DPR, permulaan tahun sidang, dan pada setiap masa sidang.
(2) Jumlah anggota Badan Legislasi paling banyak 2 (dua) kali jumlah anggota komisi, yang mencerminkan fraksi dan komisi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah anggota Badan legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 104 . . .
- 52 -
Pasal 104
(1) Pimpinan Badan Legislasi merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Legislasi terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Legislasi dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Badan Legislasi.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Badan Legislasi berdasarkan musyawarah untuk mufakat tidak tercapai sebagaimana dimaksud pada ayat (2), keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Pemilihan pimpinan Badan Legislasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Legislasi yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Legislasi.
(6) Pimpinan Badan Legislasi ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Badan Legislasi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 105
(1) Badan Legislasi bertugas:
a. menyusun rancangan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan di lingkungan DPR;
b. mengoordinasikan penyusunan program legislasi nasional yang memuat daftar urutan rancangan undang-undang beserta alasannya untuk 5 (lima) tahun dan prioritas tahunan antara DPR, Pemerintah, dan DPD;
c. melakukan . . .
- 53 -
c. melakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsep rancangan undang-undang yang diajukan anggota, komisi, atau gabungan komisi sebelum rancangan undang-undang tersebut disampaikan kepada Pimpinan DPR;
d. memberikan pertimbangan terhadap rancangan undang-undang yang diajukan oleh anggota DPR, komisi, atau gabungan komisi di luar prioritas rancangan undang-undang atau di luar rancangan undang-undang yang terdaftar dalam program legislasi nasional;
e. melakukan pembahasan, pengubahan, dan/atau penyempurnaan rancangan undang-undang yang secara khusus ditugasi oleh Badan Musyawarah;
f. melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap undang-undang;
g. menyusun, melakukan evaluasi, dan penyempurnaan peraturan DPR;
h. mengikuti perkembangan dan melakukan evaluasi terhadap pembahasan materi muatan rancangan undang-undang melalui koordinasi dengan komisi dan/atau panitia khusus;
i. melakukan sosialisasi program legislasi nasional; dan
j. membuat laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang perundang-undangan pada akhir masa keanggotaan DPR untuk dapat digunakan oleh Badan Legislasi pada masa keanggotaan berikutnya.
(2) Badan Legislasi menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Pasal 106
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, dan mekanisme Badan Legislasi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 5 . . .
- 54 -
Paragraf 5
Badan Anggaran
Pasal 107
Badan Anggaran dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
Pasal 108
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran berdasarkan representasi anggota dari setiap provinsi berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan penggantian oleh fraksi yang bersangkutan pada setiap masa sidang.
(3) Susunan dan keanggotaan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas anggota dari setiap komisi yang dipilih oleh komisi dengan memperhatikan perimbangan jumlah anggota dan usulan fraksi.
Pasal 109
(1) Pimpinan Badan Anggaran merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Badan Anggaran terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Badan Anggaran dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Badan Anggaran.
(4) Dalam . . .
- 55 -
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Badan Anggaran berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Pemilihan pimpinan Badan Anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Badan Anggaran yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Badan Anggaran.
(6) Pimpinan Badan Anggaran ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Badan Anggaran diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 110
(1) Badan Anggaran bertugas:
a. membahas bersama Pemerintah yang diwakili oleh menteri untuk menentukan pokok-pokok kebijakan fiskal secara umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam menyusun usulan anggaran;
b. menetapkan pendapatan negara bersama Pemerintah dengan mengacu pada usulan komisi yang berkaitan;
c. membahas rancangan undang-undang tentang APBN bersama Presiden yang dapat diwakili oleh menteri mengenai alokasi anggaran untuk fungsi dan program Pemerintah dan dana alokasi transfer daerah dengan mengacu pada keputusan rapat kerja komisi dan Pemerintah;
d. melakukan sinkronisasi hasil pembahasan di komisi dan alat kelengkapan DPR lainnya mengenai rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga;
e. melakukan sinkronisasi terhadap usulan program pembangunan daerah pemilihan yang diusulkan komisi;
f. membahas laporan realisasi dan perkiraan realisasi yang berkaitan dengan APBN; dan
g. membahas pokok-pokok penjelasan atas rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
(2) Badan . . .
- 56 -
(2) Badan Anggaran hanya membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh komisi.
(3) Anggota komisi dalam Badan Anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) harus mengupayakan alokasi anggaran yang diputuskan komisi dan menyampaikan hasil pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada komisi melalui rapat komisi.
Pasal 111
Badan Anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Pasal 112
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, dan mekanisme kerja Badan Anggaran diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 6
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen
Pasal 113
Badan Kerja Sama Antar-Parlemen, yang selanjutnya disingkat BKSAP, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
Pasal 114
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BKSAP pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Keanggotaan BKSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan penggantian oleh fraksi yang bersangkutan pada setiap masa sidang.
(3) Jumlah . . .
- 57 -
(3) Jumlah anggota BKSAP ditetapkan dalam rapat paripurna DPR menurut perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi.
Pasal 115
(1) Pimpinan BKSAP merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BKSAP terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BKSAP dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan BKSAP.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan BKSAP berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Pemilihan pimpinan BKSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BKSAP yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BKSAP.
(6) Pimpinan BKSAP ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan BKSAP diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 116
(1) BKSAP bertugas:
a. membina, mengembangkan, dan meningkatkan hubungan persahabatan dan kerja sama antara DPR dan parlemen negara lain, baik secara bilateral maupun multilateral, termasuk organisasi internasional yang menghimpun parlemen dan/atau anggota parlemen negara lain;
b. menerima . . .
- 58 -
b. menerima kunjungan delegasi parlemen negara lain yang menjadi tamu DPR;
c. mengoordinasikan kunjungan kerja alat kelengkapan DPR ke luar negeri; dan
d. memberikan saran atau usul kepada pimpinan DPR tentang masalah kerja sama antarparlemen.
(2) BKSAP membuat laporan kinerja pada akhir masa keanggotaan baik yang sudah maupun yang belum terselesaikan untuk dapat digunakan sebagai bahan oleh BKSAP pada masa keanggotaan berikutnya.
Pasal 117
BKSAP menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Pasal 118
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, dan mekanisme kerja BKSAP diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 7
Mahkamah Kehormatan Dewan
Pasal 119
(1) Mahkamah Kehormatan Dewan dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
(2) Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan menjaga serta menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.
Pasal 120 . . .
- 59 -
Pasal 120
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan yang terdiri atas semua fraksi dengan memperhatikan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Anggota Mahkamah Kehormatan Dewan berjumlah 17 (tujuh belas) orang dan ditetapkan dalam rapat paripurna.
Pasal 121
(1) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat Mahkamah Kehormatan Dewan yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan . . .
- 60 -
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 122
(1) Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas melakukan penyelidikan dan verifikasi atas pengaduan terhadap anggota karena:
a. tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81;
b. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan yang sah;
c. tidak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR sebagaimana ketentuan mengenai syarat calon anggota DPR yang diatur dalam undang–undang mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD; dan/atau
d. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(2) Selain tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan evaluasi dan penyempurnaan peraturan DPR tentang kode etik DPR.
(3) Mahkamah Kehormatan Dewan berwenang memanggil pihak yang berkaitan dan melakukan kerja sama dengan lembaga lain.
Pasal 123
Mahkamah Kehormatan Dewan menyusun rencana kerja dan anggaran setiap tahun sesuai dengan kebutuhan, yang selanjutnya disampaikan kepada Badan Urusan Rumah Tangga.
Pasal 124 . . .
- 61 -
Pasal 124
(1) Pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan adalah pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR berupa:
a. ketidakhadiran dalam rapat DPR yang menjadi kewajibannya;
b. tertangkap tangan melakukan tindak pidana; atau
c. terbukti melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan telah memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap.
(2) Penanganan pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan:
a. hasil verifikasi; dan
b. usulan anggota Mahkamah Kehormatan Dewan.
(3) Rapat Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tindak lanjut terhadap penanganan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan pemberitahuan kepada pimpinan DPR atas keputusan tindak lanjut penanganan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Pasal 125
(1) Aduan yang diajukan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan paling sedikit memuat:
a. identitas pengadu;
b. identitas teradu; dan
c. uraian peristiwa yang diduga pelanggaran.
(2) Identitas pengadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilengkapi identitas diri yang sah paling sedikit meliputi:
a. nama lengkap;
b. tempat tanggal lahir/umur;
c. jenis . . .
- 62 -
c. jenis kelamin;
d. pekerjaan;
e. kewarganegaraan; dan
f. alamat lengkap/domisili.
(3) Dalam hal pengadu adalah kelompok atau organisasi, identitas pengadu dilengkapi akta notaris, struktur organisasi, atau anggaran dasar/anggaran rumah tangga organisasi beserta domisili hukum yang dapat dihubungi.
(4) Identitas teradu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b paling sedikit meliputi:
a. nama lengkap;
b. nomor anggota;
c. daerah pemilihan; dan
d. fraksi/partai politik.
(5) Uraian peristiwa yang diduga pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c meliputi uraian singkat fakta perbuatan yang dilakukan oleh teradu dengan kejelasan tempat dan waktu terjadinya disertai bukti awal.
(6) Aduan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibacakan kepada pengadu dan ditandatangani atau diberi cap jempol pengadu.
Pasal 126
(1) Pengaduan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dapat disampaikan oleh:
a. pimpinan DPR atas aduan anggota DPR terhadap anggota DPR;
b. anggota DPR terhadap pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya; dan
c. masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap anggota DPR, pimpinan DPR, atau pimpinan alat kelengkapan DPR lainnya.
(2) Pengaduan . . .
- 63 -
(2) Pengaduan disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan ditandatangani atau diberi cap jempol oleh pengadu.
Pasal 127
Pengaduan pelanggaran terhadap anggota DPR tidak dapat diproses apabila teradu:
a. meninggal dunia;
b. telah mengundurkan diri; atau
c. telah ditarik keanggotaannya oleh partai politik.
Pasal 128
(1) Mahkamah Kehormatan Dewan dapat mengumpulkan alat bukti, baik sebelum maupun pada saat sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Pengumpulan alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan mencari fakta guna mencari kebenaran suatu aduan atau kebenaran alat bukti yang didapatkan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
(3) Dalam rangka melaksanakan tugas pengumpulan alat bukti, Mahkamah Kehormatan Dewan dapat meminta bantuan kepada ahli atau pakar yang memahami materi pelanggaran yang diadukan.
Pasal 129
Mahkamah Kehormatan Dewan wajib merahasiakan materi aduan dan proses verifikasi sampai dengan perkara diputus.
Pasal 130
(1) Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan untuk menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti pengaduan berdasarkan kelengkapan alat bukti.
(2) Selain . . .
- 64 -
(2) Selain memutuskan untuk menindaklanjuti pengaduan berdasarkan kelengkapan alat bukti, Mahkamah Kehormatan Dewan dapat menindaklanjuti atau tidak menindaklanjuti pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1).
(3) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan untuk menindaklanjuti pengaduan, materi aduan disampaikan kepada teradu dan pimpinan fraksi teradu secara resmi paling lama 14 (empat belas) Hari setelah Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan untuk menindaklanjuti pengaduan.
Pasal 131
(1) Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan meliputi:
a. mendengarkan pokok permasalahan yang diajukan oleh pengadu;
b. mendengarkan keterangan teradu;
c. memeriksa alat bukti; dan
d. mendengarkan pembelaan teradu.
(2) Dalam hal pelanggaran yang tidak memerlukan pengaduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 124 ayat (1) sidang Mahkamah Kehormatan Dewan dilakukan tanpa mendengarkan keterangan dari pengadu.
Pasal 132
(1) Sidang Mahkamah Kehormatan Dewan bersifat tertutup.
(2) Mahkamah Kehormatan Dewan wajib menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
Pasal 133 . . .
- 65 -
Pasal 133
(1) Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan menetapkan Hari sidang pertama untuk mendengarkan pokok permasalahan yang diadukan oleh pengadu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak pengaduan diputuskan untuk ditindaklanjuti dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (3).
(2) Mahkamah Kehormatan Dewan tidak menanggung segala biaya yang muncul berkaitan dengan pengaduan.
Pasal 134
Pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan menetapkan Hari sidang kedua untuk mendengarkan keterangan teradu paling lama 14 (empat belas) Hari terhitung sejak pengadu didengarkan dalam sidang pertama Mahkamah Kehormatan Dewan.
Pasal 135
(1) Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan surat panggilan sidang kepada teradu dengan tembusan kepada pimpinan fraksi teradu paling lambat 7 (tujuh) Hari sebelum sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Teradu dapat tidak memenuhi panggilan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan sakit yang memerlukan perawatan secara intensif atau rawat inap yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
(3) Teradu dapat tidak memenuhi panggilan sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan alasan melaksanakan tugas negara yang dibuktikan dengan surat keputusan pimpinan DPR dan surat keterangan pimpinan komisi atau pimpinan fraksi.
Pasal 136 . . .
- 66 -
Pasal 136
(1) Teradu wajib hadir sendiri dan tidak dapat menguasakan kepada pihak lain atau tidak dapat didampingi oleh penasihat hukum dalam setiap tahap sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal teradu tidak menghadiri panggilan sidang dengan alasan sakit dan tugas negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 135 ayat (2) dan ayat (3), sidang ditunda.
(3) Jangka waktu penundaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak panggilan pertama.
(4) Surat panggilan disampaikan paling banyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu 3 (tiga) Hari sejak panggilan sebelumnya.
(5) Jika teradu tidak memenuhi panggilan Mahkamah Kehormatan Dewan sebanyak 3 (tiga) kali tanpa alasan yang sah, Mahkamah Kehormatan Dewan melakukan sidang untuk mengambil putusan dengan tanpa dihadiri teradu.
Pasal 137
(1) Pengadu mengajukan alat bukti untuk membuktikan kebenaran pengaduannya.
(2) Teradu berhak mengajukan pembelaan terhadap pengaduan yang diajukan oleh pengadu.
(3) Mahkamah Kehormatan Dewan dapat meminta alat bukti lain kepada pihak ketiga.
Pasal 138
Alat bukti yang dipakai dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan meliputi:
a. keterangan saksi;
b. keterangan ahli;
c. surat . . .
- 67 -
c. surat;
d. data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik atau optik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna, keterangan pengadu dan teradu; dan
e. petunjuk lain.
Pasal 139
(1) Keterangan saksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 huruf a, dapat disampaikan oleh saksi yang diajukan:
a. pengadu;
b. teradu; dan/atau
c. Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipanggil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberikan keterangan di sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
(3) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh saksi paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
Pasal 140
(1) Pemeriksaan saksi meliputi:
a. identitas saksi; dan
b. pengetahuan saksi tentang materi aduan yang sedang diverifikasi.
(2) Identitas . . .
- 68 -
(2) Identitas saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. nama lengkap;
b. tempat tanggal lahir/umur;
c. jenis kelamin;
d. pekerjaan; dan
e. alamat/domisili yang dibuktikan dengan kartu tanda penduduk atau identitas resmi lainnya.
(3) Pengetahuan saksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terbatas pada apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri.
(4) Saksi wajib disumpah sebelum didengarkan keterangannya.
Pasal 141
(1) Keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 huruf b, dapat disampaikan oleh ahli yang diajukan:
a. pengadu;
b. teradu; dan/atau
c. Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipanggil oleh Mahkamah Kehormatan Dewan untuk memberikan keterangan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
(3) Panggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan secara tertulis dan harus sudah diterima oleh ahli paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum sidang Mahkamah Kehormatan Dewan.
(4) Ahli wajib disumpah sebelum didengarkan keterangannya.
Pasal 142 . . .
- 69 -
Pasal 142
(1) Pemeriksaan ahli meliputi:
a. identitas ahli; dan
b. pengetahuan ahli berkenaan dengan materi aduan yang sedang diperiksa atau alat bukti surat dan data informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 huruf c dan huruf d.
(2) Identitas ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
a. nama lengkap;
b. tempat, tanggal lahir/umur;
c. jenis kelamin;
d. pekerjaan;
e. alamat/domisili; dan
f. keahlian.
(3) Pengetahuan ahli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, didasarkan pada pendidikan, keahlian, dan pengalamannya.
Pasal 143
(1) Mahkamah Kehormatan Dewan menilai alat bukti yang diajukan dalam pemeriksaan dengan memperhatikan persesuaian antara alat bukti yang satu dan alat bukti yang lain.
(2) Mahkamah Kehormatan Dewan menentukan sah-tidaknya alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138.
Pasal 144
(1) Dalam hal teradu adalah pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan pengaduan dinyatakan memenuhi syarat dan lengkap dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan, Mahkamah Kehormatan Dewan memberitahukan kepada pimpinan DPR dan pimpinan fraksi bahwa teradu akan diproses lebih lanjut.
(2) Setelah . . .
- 70 -
(2) Setelah menerima pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR menonaktifkan sementara waktu pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan yang diadukan.
(3) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutus teradu tidak terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana yang diadukan, kedudukannya sebagai pimpinan dan/atau anggota Mahkamah Kehormatan Dewan diaktifkan kembali oleh pimpinan DPR.
Pasal 145
(1) Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan didasarkan atas:
a. asas kepatutan, moral, dan etika;
b. fakta dalam hasil sidang Mahkamah Kehormatan Dewan;
c. fakta dalam pembuktian;
d. fakta dalam pembelaan; dan
e. Tata Tertib dan Kode Etik.
(2) Anggota, pimpinan fraksi, dan/atau pimpinan DPR dilarang melakukan upaya intervensi terhadap putusan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(3) Upaya intervensi terhadap putusan Mahkamah Kehormatan Dewan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pelanggaran Kode Etik dan akan diproses oleh Mahkamah Kehormatan Dewan.
Pasal 146
(1) Putusan dalam sidang Mahkamah Kehormatan Dewan diambil dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal pengambilan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, putusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(3) Setiap . . .
- 71 -
(3) Setiap putusan Mahkamah Kehormatan Dewan harus memuat:
a. kepala putusan berbunyi “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DAN DEMI KEHORMATAN DPR”;
b. identitas teradu;
c. ringkasan aduan;
d. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dari keterangan pengadu dan teradu;
e. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam pembuktian;
f. pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam pembelaan;
g. pertimbangan hukum dan etika yang menjadi dasar putusan;
h. amar putusan;
i. hari dan tanggal putusan; dan
j. nama dan tanda tangan paling sedikit 1 (satu) orang pimpinan Mahkamah Kehormatan Dewan.
Pasal 147
(1) Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan bersifat final dan mengikat, kecuali mengenai putusan pemberhentian tetap anggota.
(2) Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan mengenai pemberhentian tetap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapatkan persetujuan rapat paripurna.
(3) Dalam hal putusan Mahkamah Kehormatan Dewan mengenai pemberhentian tetap anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2), putusan berlaku sejak tanggal mendapatkan persetujuan rapat paripurna.
(4) Amar . . .
- 72 -
(4) Amar putusan berbunyi:
a. menyatakan teradu tidak terbukti melanggar; atau
b. menyatakan teradu terbukti melanggar.
(5) Dalam hal teradu tidak terbukti melanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a, putusan disertai rehabilitasi kepada teradu.
(6) Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan putusan rehabilitasi kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada pimpinan fraksi dari anggota yang bersangkutan paling lama 5 (lima) Hari sejak tanggal putusan berlaku.
(7) Putusan rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diumumkan dalam rapat paripurna DPR yang pertama sejak diterimanya putusan Mahkamah Kehormatan Dewan oleh pimpinan DPR dan dibagikan kepada semua anggota DPR.
(8) Dalam hal teradu terbukti melanggar sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, putusan disertai dengan sanksi kepada teradu berupa:
a. sanksi ringan dengan teguran lisan atau teguran tertulis;
b. sanksi sedang dengan pemindahan keanggotaan pada alat kelengkapan DPR atau pemberhentian dari jabatan pimpinan DPR atau pimpinan alat kelengkapan DPR; atau
c. sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan atau pemberhentian tetap sebagai anggota DPR.
Pasal 148
(1) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan menangani kasus pelanggaran kode etik yang bersifat berat dan berdampak pada sanksi pemberhentian, Mahkamah Kehormatan Dewan harus membentuk panel sidang pelanggaran kode etik anggota DPR.
(2) Panel . . .
- 73 -
(2) Panel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas 3 (tiga) orang anggota Mahkamah Kehormatan Dewan dan 4 (empat) orang dari unsur masyarakat.
(3) Putusan panel sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada rapat paripurna untuk mendapat persetujuan terhadap pemberhentian tetap anggota DPR.
Pasal 149
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan Mahkamah Kehormatan Dewan, tata cara pengenaan sanksi, tata cara pembentukan panel, dan tata cara sidang pelanggaran kode etik DPR diatur dalam peraturan DPR.
Paragraf 8
Badan Urusan Rumah Tangga
Pasal 150
Badan Urusan Rumah Tangga, yang selanjutnya disingkat BURT, dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat tetap.
Pasal 151
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan BURT pada permulaan masa keanggotaan DPR dan permulaan tahun sidang.
(2) Jumlah anggota BURT paling banyak 25 (dua puluh lima) orang atas usul komisi dan fraksi berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota setiap fraksi di komisi yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Pasal 152 . . .
- 74 -
Pasal 152
(1) Pimpinan BURT merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan BURT terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota BURT dalam satu paket yang bersifat tetap berdasarkan usulan fraksi sesuai dengan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Setiap fraksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengajukan 1 (satu) orang bakal calon pimpinan BURT.
(4) Dalam hal pemilihan pimpinan BURT berdasarkan musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(5) Penetapan pimpinan BURT sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat BURT yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan BURT.
(6) Pimpinan BURT ditetapkan dengan keputusan pimpinan DPR.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan pimpinan BURT diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 153
BURT bertugas:
a. menetapkan arah kebijakan umum pengelolaan anggaran DPR untuk setiap tahun anggaran dan diserahkan kepada Sekretaris Jenderal DPR untuk dilaksanakan;
b. menyusun rencana kerja dan anggaran DPR secara mandiri yang dituangkan dalam program dan kegiatan setiap tahun berdasarkan usulan dari alat kelengkapan DPR dan fraksi;
c. dalam . . .
- 75 -
c. dalam menyusun program dan kegiatan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf b, BURT dapat menyusun standar biaya khusus dan mengajukannya kepada pemerintah untuk dibahas bersama;
d. melakukan pengawasan terhadap Sekretariat Jenderal DPR dalam pelaksanaan kebijakan kerumahtanggaan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a, termasuk pelaksanaan dan pengelolaan anggaran DPR;
e. melakukan koordinasi dengan alat kelengkapan DPD dan alat kelengkapan MPR yang berhubungan dengan kerumahtanggaan DPR, DPD, dan MPR yang ditugasi oleh pimpinan DPR berdasarkan hasil rapat Badan Musyawarah;
f. menyampaikan hasil keputusan dan arah kebijakan umum anggaran tahunan DPR sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan;
g. menyampaikan laporan kinerja dalam rapat paripurna DPR yang khusus diadakan untuk itu.
Pasal 154
BURT menyusun rencana kerja dan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 155
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas dan mekanisme kerja BURT diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 9
Panitia Khusus
Pasal 156
Panitia khusus dibentuk oleh DPR dan merupakan alat kelengkapan DPR yang bersifat sementara.
Pasal 157 . . .
- 76 -
Pasal 157
(1) DPR menetapkan susunan dan keanggotaan panitia khusus berdasarkan perimbangan dan pemerataan jumlah anggota tiap-tiap fraksi.
(2) Jumlah anggota panitia khusus paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
Pasal 158
(1) Pimpinan panitia khusus merupakan satu kesatuan pimpinan yang bersifat kolektif dan kolegial.
(2) Pimpinan panitia khusus terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan paling banyak 3 (tiga) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota panitia khusus berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat.
(3) Pemilihan pimpinan panitia khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam rapat panitia khusus yang dipimpin oleh pimpinan DPR setelah penetapan susunan dan keanggotaan panitia khusus.
Pasal 159
(1) Panitia khusus bertugas melaksanakan tugas tertentu dalam jangka waktu tertentu yang ditetapkan dalam rapat paripurna DPR.
(2) Panitia khusus bertanggung jawab kepada DPR.
(3) Panitia khusus dibubarkan oleh DPR setelah jangka waktu penugasannya berakhir atau karena tugasnya selesai.
(4) Rapat paripurna menetapkan tindak lanjut hasil kerja panitia khusus.
Pasal 160 . . .
- 77 -
Pasal 160
Panitia khusus menggunakan anggaran untuk pelaksanaan tugasnya sesuai dengan kebutuhan yang diajukan kepada pimpinan DPR.
Pasal 161
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan, susunan, tugas, dan mekanisme kerja panitia khusus diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
Bagian Kesembilan
Pelaksanaan Wewenang dan Tugas
Paragraf 1
Pembentukan Undang-Undang
Pasal 162
(1) DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
(2) Pembentukan undang-undang dilaksanakan sesuai dengan undang-undang mengenai pembentukan peraturan perundang-undangan, kecuali yang ditentukan lain oleh Undang-Undang ini.
Pasal 163
(1) Rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR, Presiden, atau DPD.
(2) Rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD disertai dengan naskah akademik, kecuali rancangan undang–undang mengenai:
a. APBN;
b. penetapan peraturan pemerintah pengganti undang–undang menjadi undang–undang; atau
c. pencabutan undang-undang atau pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
Pasal 164 . . .
- 78 -
Pasal 164
(1) Usul rancangan undang-undang dapat diajukan oleh anggota DPR, komisi, dan gabungan komisi.
(2) Usul rancangan undang-undang disampaikan secara tertulis oleh anggota DPR, pimpinan komisi, atau pimpinan Badan Legislasi kepada pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul.
(3) DPR memutuskan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rapat paripurna, berupa:
a. persetujuan;
b. persetujuan dengan pengubahan; atau
c. penolakan.
(4) Dalam hal persetujuan dengan pengubahan, DPR menugasi komisi, Badan Legislasi, atau panitia khusus untuk menyempurnakan rancangan undang-undang tersebut.
(5) Rancangan undang-undang yang telah disiapkan oleh DPR disampaikan dengan surat pimpinan DPR kepada Presiden.
Pasal 165
(1) Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR.
(2) Rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah diajukan kepada DPR dan pimpinan DPR menyampaikannya kepada pimpinan DPD.
Pasal 166 . . .
- 79 -
Pasal 166
(1) Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh DPD berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta naskah akademik disampaikan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.
(3) Pimpinan DPR paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak menerima rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengirim surat kepada Presiden untuk menunjuk menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR dengan mengikutsertakan DPD.
(4) Pimpinan DPR setelah menerima rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengirim surat kepada pimpinan DPD untuk menunjuk alat kelengkapan DPD yang ditugasi mewakili DPD ikut serta dalam pembahasan rancangan undang-undang oleh DPR bersama Presiden.
(5) DPR dan Presiden mulai membahas rancangan undang-undang dari DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 60 (enam puluh) Hari terhitung sejak surat pimpinan DPR diterima Presiden.
Pasal 167
Penyebarluasan rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 166 ayat (2) dilaksanakan oleh DPD.
Pasal 168 . . .
- 80 -
Pasal 168
Tindak lanjut pembahasan rancangan undang-undang yang berasal dari DPR, Presiden, atau DPD dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan.
Pasal 169
Dua tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168 terdiri atas:
a. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus; dan
b. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR.
Pasal 170
(1) Pembicaraan tingkat I dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut:
a. pengantar musyawarah;
b. pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
c. penyampaian pendapat mini.
(2) Dalam pengantar musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a:
a. DPR memberikan penjelasan dan Presiden menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang berasal dari DPR;
b. DPR memberikan penjelasan serta Presiden dan DPD menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c berasal dari DPR;
c. DPD . . .
- 81 -
c. DPD memberikan penjelasan serta DPR dan Presiden menyampaikan pandangan apabila rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD berasal dari DPD;
d. Presiden memberikan penjelasan dan fraksi memberikan pandangan jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden; atau
e. Presiden memberikan penjelasan serta fraksi dan DPD menyampaikan pandangan jika rancangan undang-undang yang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c berasal dari Presiden.
(3) Daftar inventarisasi masalah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diajukan oleh:
a. Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR;
b. DPR jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden;
c. DPR dan DPD jika rancangan undang-undang berasal dari Presiden sepanjang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c;
d. DPR dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPD sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; atau
e. DPD dan Presiden jika rancangan undang-undang berasal dari DPR sepanjang terkait dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c.
(4) Penyampaian pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c disampaikan pada akhir pembicaraan tingkat I oleh:
a. fraksi;
b. DPD . . .
- 82 -
b. DPD, jika rancangan undang-undang berkaitan dengan kewenangan DPD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf c; dan
c. Presiden.
(5) Dalam hal DPD tidak menyampaikan pandangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf e dan/atau tidak menyampaikan pendapat mini sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf b, pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan.
(6) Dalam pembicaraan tingkat I dapat diundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain jika materi rancangan undang-undang berkaitan dengan lembaga negara atau lembaga lain.
Pasal 171
(1) Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan oleh DPR dan Pemerintah dalam rapat paripurna DPR dengan kegiatan:
a. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
b. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
c. pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugasi.
(2) Dalam hal persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b secara musyawarah untuk mufakat tidak dapat dicapai, pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak.
(3) Dalam hal rancangan undang-undang tidak mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, rancangan undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu.
Pasal 172 . . .
- 83 -
Pasal 172
Ketentuan lebih lanjut mengenai tingkat pembicaraan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 173
(1) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang, termasuk pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya.
(2) Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 2
Penerimaan Pertimbangan DPD
terhadap Rancangan Undang-Undang
Pasal 174
(1) DPR menerima dan menindaklanjuti pertimbangan tertulis mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama yang disampaikan oleh DPD sebelum memasuki tahap pembahasan antara DPR dan Presiden.
(2) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari Presiden, pimpinan DPR setelah menerima surat Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya.
(3) Apabila . . .
- 84 -
(3) Apabila rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari DPR, pimpinan DPR menyampaikan surat kepada pimpinan DPD agar DPD memberikan pertimbangannya.
(4) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) disampaikan secara tertulis melalui pimpinan DPR paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR, kecuali rancangan undang-undang tentang APBN disampaikan paling lambat 14 (empat belas) Hari sebelum diambil persetujuan bersama antara DPR dan Presiden.
(5) Pada rapat paripurna DPR berikutnya, pimpinan DPR memberitahukan kepada anggota DPR perihal diterimanya pertimbangan DPD atas rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan meneruskannya kepada Badan Musyawarah untuk diteruskan kepada alat kelengkapan DPR yang akan membahasnya.
Paragraf 3
Kuasa DPR di Persidangan Mahkamah Konstitusi
Pasal 175
(1) Dalam hal suatu undang-undang diuji di Mahkamah Konstitusi, yang menjadi kuasa DPR untuk memberikan keterangan dalam persidangan Mahkamah Konstitusi adalah alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang dengan melibatkan komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan.
(2) Dalam hal alat kelengkapan DPR yang membahas rancangan undang-undang sudah tidak ada pada saat undang-undang diuji di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), komisi yang membidangi hukum dan perundang-undangan menjadi kuasa DPR.
(3) Dalam . . .
- 85 -
(3) Dalam hal tertentu DPR dapat memanggil setiap orang yang terlibat dalam penyusunan atau pembahasan rancangan undang-undang yang diuji untuk memberikan keterangan sebagai saksi dan/atau ahli.
Paragraf 4
Penetapan APBN
Pasal 176
(1) Penyusunan rancangan APBN berpedoman pada rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(2) Rancangan rencana kerja Pemerintah disusun oleh Pemerintah untuk dibahas dan disepakati bersama dengan DPR.
(3) Rencana kerja Pemerintah yang telah dibahas dan disepakati bersama dengan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi pedoman bagi penyusunan rancangan APBN untuk selanjutnya ditetapkan menjadi satu kesatuan dengan APBN, dan menjadi acuan kerja Pemerintah yang ditetapkan dengan keputusan Presiden.
Pasal 177
Dalam melaksanakan wewenang dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 huruf e, DPR menyelenggarakan kegiatan sebagai berikut:
a. pembicaraan pendahuluan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia dalam rangka menyusun rancangan APBN;
b. pembahasan dan penetapan APBN yang didahului dengan penyampaian rancangan undang-undang tentang APBN beserta nota keuangannya oleh Presiden;
c. pembahasan:
1. laporan realisasi semester pertama dan 6 (enam) bulan berikutnya;
2. penyesuaian . . .
- 86 -
2. penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi:
a) perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN;
b) perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c) keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar-unit organisasi; dan/atau
d) keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan;
d. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan atas undang-undang tentang APBN; dan
e. pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN.
Pasal 178
(1) Pembicaraan pendahuluan dalam rangka penyusunan rancangan APBN dilakukan segera setelah Pemerintah menyampaikan bahan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal pada pertengahan bulan Mei, yang meliputi:
a. kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal tahun anggaran berikutnya;
b. kebijakan umum dan prioritas anggaran untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian/lembaga dalam penyusunan usulan anggaran; dan
c. rincian unit organisasi, fungsi, dan program.
(2) Pemerintah . . .
- 87 -
(2) Pemerintah menyampaikan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal kepada DPR pada tanggal 20 Mei tahun sebelumnya atau sehari sebelumnya apabila tanggal tersebut jatuh pada hari libur.
(3) Komisi dengan kementerian/lembaga melakukan rapat kerja dan/atau rapat dengar pendapat untuk membahas rencana kerja dan anggaran kementerian/lembaga tersebut.
(4) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan kepada Badan Anggaran.
Pasal 179
Kegiatan dalam tahap pembicaraan pendahuluan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178 meliputi:
a. rapat kerja yang diadakan oleh komisi dengan Pemerintah untuk membahas alokasi anggaran menurut fungsi dan program kementerian/lembaga; dan
b. rapat kerja yang diadakan oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia untuk penyelesaian akhir kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, dengan memperhatikan pemandangan umum fraksi, jawaban Pemerintah, saran dan pendapat Badan Musyawarah, keputusan rapat kerja komisi dengan Pemerintah mengenai alokasi anggaran menurut fungsi dan program kementerian/lembaga.
Pasal 180
(1) Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang APBN, disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya kepada DPR pada bulan Agustus tahun sebelumnya.
(2) Rancangan . . .
- 88 -
(2) Rancangan undang-undang tentang APBN disertai nota keuangan dan dokumen pendukungnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan dalam rapat paripurna DPR.
(3) Pembahasan rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan tingkat pembicaraan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168, Pasal 169, Pasal 170, dan Pasal 171.
(4) DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam rancangan undang-undang tentang APBN.
(5) Pengambilan keputusan oleh DPR mengenai rancangan undang-undang tentang APBN dilakukan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(6) APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program.
(7) Dalam hal DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran paling tinggi sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.
Pasal 181
Badan Anggaran mengadakan pembahasan dengan Pemerintah dan Bank Indonesia pada triwulan ketiga setiap tahun anggaran tentang laporan realisasi semester pertama APBN dan perkiraan realisasi untuk 6 (enam) bulan berikutnya yang disampaikan Pemerintah kepada DPR paling lambat pada akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan.
Pasal 182
(1) Dalam hal terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan, Pemerintah mengajukan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN tahun anggaran berjalan.
(2) Perubahan . . .
- 89 -
(2) Perubahan asumsi ekonomi makro yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. penurunan pertumbuhan ekonomi paling sedikit 1% (satu persen) di bawah asumsi yang telah ditetapkan; dan/atau
b. deviasi asumsi ekonomi makro lainnya paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari asumsi yang telah ditetapkan.
(3) Perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. penurunan penerimaan perpajakan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
b. kenaikan atau penurunan belanja kementerian atau lembaga paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari pagu yang telah ditetapkan;
c. kebutuhan belanja yang bersifat mendesak dan belum tersedia pagu anggarannya; dan/atau
d. kenaikan defisit paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari rasio defisit APBN terhadap produk domestik bruto yang telah ditetapkan.
(4) Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang perubahan APBN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah bersama dengan Badan Anggaran dan komisi terkait dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan dalam masa sidang setelah rancangan undang-undang tentang perubahan APBN diajukan oleh Pemerintah kepada DPR.
(5) Dalam hal tidak terjadi perubahan asumsi ekonomi makro dan/atau perubahan postur APBN yang sangat signifikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), pembahasan perubahan APBN dilakukan dalam rapat Badan Anggaran dan pelaksanaannya disampaikan dalam laporan keuangan Pemerintah.
Pasal 183 . . .
- 90 -
Pasal 183
Pembahasan dan penetapan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dilakukan dalam waktu paling lama 3 (tiga) bulan setelah disampaikannya bahan hasil pemeriksaan laporan keuangan Pemerintah oleh BPK ke DPR.
Pasal 184
(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh BPK paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi realisasi APBN, neraca, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan yang dilampiri dengan laporan keuangan kementerian/lembaga.
Paragraf 5
Pengajuan dan Pemberian Persetujuan atau
Pertimbangan atas Calon untuk Pengisian Jabatan
Pasal 185
(1) DPR mengajukan calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna DPR.
(2) DPR memberikan persetujuan atau pertimbangan atas calon untuk mengisi suatu jabatan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan melalui rapat paripurna DPR.
(3) Rapat . . .
- 91 -
(3) Rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) menugasi Badan Musyawarah untuk menjadwalkan dan menugaskan pembahasannya kepada alat kelengkapan DPR terkait.
(4) Pembahasan oleh alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 186
DPR memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam hal mengangkat duta besar untuk negara lain dan menerima penempatan duta besar dari negara lain.
Pasal 187
(1) Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari Presiden mengenai penempatan calon duta besar untuk negara lain, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna DPR.
(2) Rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menugasi alat kelengkapan DPR terkait untuk membahasnya secara rahasia.
Pasal 188
(1) Dalam hal pimpinan DPR menerima pemberitahuan dari Presiden mengenai penempatan calon duta besar negara lain untuk Republik Indonesia, pimpinan DPR menyampaikan pemberitahuan tersebut dalam rapat paripurna DPR tanpa menyebut nama calon duta besar.
(2) Dalam hal permintaan pertimbangan terhadap calon duta besar negara lain untuk Republik Indonesia disampaikan pada masa reses, permintaan tersebut dibahas dalam pertemuan konsultasi antara pimpinan DPR, pimpinan komisi terkait, dan pimpinan fraksi.
Pasal 189 . . .
- 92 -
Pasal 189
Pertimbangan DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 186 disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden secara rahasia.
Pasal 190
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan dan pemberian persetujuan atau pertimbangan atas calon untuk pengisian jabatan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 6
Pemilihan Anggota BPK
Pasal 191
DPR memilih anggota BPK dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Pasal 192
(1) Pimpinan DPR memberitahukan kepada pimpinan DPD mengenai rencana pemilihan anggota BPK disertai dokumen kelengkapan persyaratan calon anggota BPK sebagai bahan DPD untuk memberikan pertimbangan atas calon anggota BPK, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum alat kelengkapan DPR memproses pelaksanaan pemilihan anggota BPK.
(2) Pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara tertulis kepada pimpinan DPR paling lambat 3 (tiga) Hari sebelum pelaksanaan pemilihan, yang selanjutnya segera disampaikan kepada alat kelengkapan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk digunakan sebagai bahan pertimbangan.
(3) Dalam . . .
- 93 -
(3) Dalam hal pertimbangan DPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak disampaikan, pemilihan anggota BPK tetap dilaksanakan.
(4) Nama calon terpilih anggota BPK disampaikan oleh DPR kepada Presiden paling lambat 30 (tiga puluh) Hari sebelum masa jabatan anggota BPK berakhir.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan anggota BPK dan penerimaan pertimbangan dari DPD diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 193
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan wewenang dan tugas DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72 diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Bagian Kesepuluh
Pelaksanaan Hak DPR
Paragraf 1
Hak Interpelasi
Pasal 194
(1) Hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf a diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2) Pengusulan hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dokumen yang memuat paling sedikit:
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan kebijakan Pemerintah yang akan dimintakan keterangan; dan
b. alasan permintaan keterangan.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak interpelasi DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Pasal 195 . . .
- 94 -
Pasal 195 (1) Usul hak interpelasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 disampaikan oleh pengusul kepada pimpinan DPR. (2) Usul hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR dan dibagikan kepada semua anggota. (3) Badan Musyawarah menjadwalkan rapat paripurna DPR atas usul interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasaan atas usul interpelasinya secara ringkas. (4) Selama usul hak interpelasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disetujui oleh rapat paripurna DPR, pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali. (5) Perubahan atau penarikan kembali usul sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan DPR membagikan kepada semua anggota. (6) Dalam hal jumlah penanda tangan usul hak interpelasi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1), harus diadakan penambahan penanda tangan sehingga jumlahnya mencukupi. (7) Dalam hal terjadi pengunduran diri penanda tangan usul hak interpelasi sebelum dan pada saat rapat paripurna DPR yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penanda tangan tidak mencukupi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1), ketua rapat paripurna DPR mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna DPR untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penanda tangan mencukupi.
(8) Apabila . . .
- 95 -
(8) Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna DPR terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul hak interpelasi dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar pengusul, ketua rapat paripurna DPR mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap dapat dilanjutkan. (9) Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah penanda tangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.
Pasal 196
(1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 195 ayat (3) menyetujui usul interpelasi sebagai hak interpelasi DPR, Presiden atau pimpinan lembaga dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis terhadap materi interpelasi dalam rapat paripurna DPR berikutnya.
(2) Apabila Presiden tidak dapat hadir untuk memberikan penjelasan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Presiden menugasi menteri/pejabat terkait untuk mewakilinya.
Pasal 197
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak penjelasan Presiden atau pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196.
(2) Dalam hal DPR menerima penjelasan Presiden atau pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul hak interpelasi dinyatakan selesai dan materi interpelasi tersebut tidak dapat diusulkan kembali.
(3) Dalam hal DPR menolak penjelasan Presiden atau pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR dapat menggunakan hak DPR lainnya.
(4) Keputusan . . .
- 96 -
(4) Keputusan untuk menerima atau menolak penjelasan Presiden atau pimpinan lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Pasal 198
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak interpelasi diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 2
Hak Angket
Pasal 199
(1) Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.
(2) Pengusulan hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:
a. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan
b. alasan penyelidikan.
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak angket DPR apabila mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
Pasal 200 . . .
- 97 -
Pasal 200 (1) Usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 disampaikan oleh pengusul kepada pimpinan DPR. (2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR dan dibagikan kepada semua anggota. (3) Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna DPR atas usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasan atas usul hak angket secara ringkas. (4) Selama usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disetujui oleh rapat paripurna DPR, pengusul berhak mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali. (5) Perubahan atau penarikan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan pimpinan DPR membagikannya kepada semua anggota. (6) Dalam hal jumlah penanda tangan usul hak angket yang belum memasuki pembicaraan tingkat I menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1), harus diadakan penambahan penanda tangan sehingga jumlahnya mencukupi. (7) Dalam hal terjadi pengunduran diri penanda tangan usul hak angket sebelum dan pada saat rapat paripurna yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat terhadap jumlah penanda tangan tidak mencukupi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1), ketua rapat paripurna mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penanda tangan mencukupi.
(8) Apabila . . .
- 98 -
(8) Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna DPR terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul angket dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar pengusul, ketua rapat paripurna mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap dapat dilanjutkan.
(9) Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah penanda tangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.
Pasal 201
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 199 ayat (1).
(2) Dalam hal DPR menerima usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang dinamakan panitia angket yang keanggotaannya terdiri atas semua unsur fraksi DPR.
(3) Dalam hal DPR menolak usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 202 (1) Panitia angket ditetapkan dengan keputusan DPR dan diumumkan dalam Berita Negara. (2) Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup juga penentuan biaya panitia angket. (3) Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Presiden. (4) Ketentuan mengenai panitia khusus berlaku bagi panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2).
Pasal 203 . . .
- 99 -
Pasal 203
Panitia angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201 ayat (2), dalam melakukan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (3), selain meminta keterangan dari Pemerintah, dapat meminta keterangan dari saksi, pakar, organisasi profesi, dan/atau pihak terkait lainnya.
Pasal 204
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan.
(2) Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket.
(3) Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(4) Bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan atas permintaan pimpinan DPR kepada kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(5) Pendanaan untuk pelaksanaan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebankan pada anggaran DPR.
Pasal 205 (1) Dalam melaksanakan hak angket, panitia khusus berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan.
(2) Panitia . . .
- 100 -
(2) Panitia khusus meminta kehadiran pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat meminta secara tertulis dalam jangka waktu yang cukup dengan menyebutkan maksud permintaan tersebut dan jadwal pelaksanaannya. (3) Pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib hadir untuk memberikan keterangan, termasuk menunjukkan dan/atau menyerahkan segala dokumen yang diperlukan kepada panitia khusus. (4) Panitia khusus dapat menunda pelaksanaan rapat akibat ketidakhadiran pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) karena suatu alasan yang sah. (5) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir tanpa alasan yang sah, atau menolak hadir, panitia khusus dapat meminta satu kali lagi kehadiran yang bersangkutan pada jadwal yang ditentukan. (6) Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memenuhi permintaan kehadiran yang kedua tanpa alasan yang sah atau menolak hadir, yang bersangkutan dikenai panggilan paksa oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia atas permintaan panitia khusus.
(7) Dalam hal panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 (lima belas) Hari oleh aparat yang berwajib, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 206
(1) Panitia angket melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia angket.
(2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panita angket.
Pasal 207 . . .
- 101 -
Pasal 207 (1) Setelah menyelesaikan tugasnya, panitia angket menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR dan selanjutnya laporan tersebut dibagikan kepada semua anggota. (2) Pengambilan keputusan tentang laporan panitia angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan laporan hasil panitia angket dan pendapat akhir fraksi.
Pasal 208 (1) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, DPR dapat menggunakan hak menyatakan pendapat. (2) Apabila rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 206 ayat (2) memutuskan bahwa pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, usul hak angket dinyatakan selesai dan materi angket tersebut tidak dapat diajukan kembali. (3) Keputusan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) harus mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
(4) Keputusan . . .
- 102 -
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lama 7 (tujuh) Hari sejak keputusan diambil dalam rapat paripurna DPR. (5) DPR dapat menindaklanjuti keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan kewenangan DPR menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 209
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak angket diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 3
Hak Menyatakan Pendapat
Pasal 210
(1) Hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf c diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR.
(2) Pengusulan hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:
a. materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf a dan alasan pengajuan usul pernyataan pendapat;
b. materi hasil pelaksanaan hak interpelasi atau hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf b; atau
c. materi dan bukti yang sah atas dugaan adanya tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf c atau materi dan bukti yang sah atas dugaan tidak dipenuhinya syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf c.
(3) Usul . . .
- 103 -
(3) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi hak menyatakan pendapat DPR apabila mendapatkan persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
Pasal 211 (1) Usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 disampaikan oleh pengusul kepada pimpinan DPR. (2) Usul sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR dan dibagikan kepada semua anggota DPR. (3) Badan Musyawarah membahas dan menjadwalkan rapat paripurna DPR atas usul menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat memberikan kesempatan kepada pengusul untuk memberikan penjelasaan atas usul menyatakan pendapatnya secara ringkas. (4) Selama usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum disetujui oleh rapat paripurna DPR, pengusul dapat mengadakan perubahan dan menarik usulnya kembali. (5) Perubahan atau penarikan kembali usulan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis dan dibagikan kepada semua anggota DPR. (6) Dalam hal jumlah penanda tangan usul menyatakan pendapat yang belum memasuki pembicaraan tingkat I menjadi kurang dari jumlah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1), harus diadakan penambahan penanda tangan sehingga jumlahnya mencukupi.
(7) Dalam . . .
- 104 -
(7) Dalam hal terjadi pengunduran diri penanda tangan usul hak menyatakan pendapat sebelum dan pada saat rapat paripurna DPR yang telah dijadwalkan oleh Badan Musyawarah, yang berakibat jumlah penanda tangan tidak mencukupi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 ayat (1), ketua rapat paripurna DPR mengumumkan pengunduran diri tersebut dan acara rapat paripurna untuk itu dapat ditunda dan/atau dilanjutkan setelah jumlah penanda tangan mencukupi. (8) Apabila sebelum dan/atau pada saat rapat paripurna DPR terdapat anggota yang menyatakan ikut sebagai pengusul hak menyatakan pendapat dengan membubuhkan tanda tangan pada lembar pengusul, ketua rapat paripurna DPR mengumumkan hal tersebut dan rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (7) tetap dapat dilanjutkan. (9) Apabila sampai 2 (dua) kali masa persidangan jumlah penanda tangan yang dimaksud tidak terpenuhi, usul tersebut menjadi gugur.
Pasal 212
(1) DPR memutuskan menerima atau menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 211 ayat (1).
(2) Dalam hal DPR menerima usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), DPR membentuk panitia khusus yang terdiri atas semua unsur fraksi DPR dengan keputusan DPR.
(3) Dalam hal DPR menolak usul hak menyatakan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), usul tersebut tidak dapat diajukan kembali.
Pasal 213 . . .
- 105 -
Pasal 213
(1) Panitia khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 212 ayat (2) melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) Hari sejak dibentuknya panitia khusus.
(2) Rapat paripurna DPR mengambil keputusan terhadap laporan panitia khusus.
Pasal 214
(1) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4) huruf a dan huruf b, DPR menyatakan pendapatnya kepada Pemerintah.
(2) Dalam hal rapat paripurna DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (2) memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, ataupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, DPR menyampaikan keputusan tentang hak menyatakan pendapat kepada Mahkamah Konstitusi untuk mendapatkan putusan.
(3) Dalam hal rapat paripurna DPR menolak laporan panitia khusus terhadap materi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (4), hak menyatakan pendapat tersebut dinyatakan selesai dan tidak dapat diajukan kembali.
(4) Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan paling sedikit 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPR yang hadir.
(5) Keputusan DPR mengenai usul menyatakan pendapat sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada Presiden.
Pasal 215 . . .
- 106 -
Pasal 215
(1) Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (2) terbukti, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.
(2) Dalam hal Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pendapat DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 214 ayat (2) tidak terbukti, usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat dilanjutkan.
Pasal 216
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan hak menyatakan pendapat diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Bagian Kesebelas
Pelaksanaan Hak Anggota
Paragraf 1
Hak Mengajukan Usul Rancangan Undang-Undang
Pasal 217
(1) Anggota DPR mempunyai hak mengajukan usul rancangan undang-undang.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan usul rancangan undang-undang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 2
Hak Mengajukan Pertanyaan
Pasal 218
(1) Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan.
(2) Dalam hal pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan kepada Presiden, pertanyaan tersebut disusun secara tertulis, singkat, dan jelas serta disampaikan kepada pimpinan DPR.
(3) Apabila . . .
- 107 -
(3) Apabila diperlukan, pimpinan DPR dapat meminta penjelasan kepada anggota DPR yang mengajukan pertanyaan.
(4) Pimpinan DPR meneruskan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum dan meminta agar Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum memberikan jawaban.
(5) Pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat tertutup atau terbuka.
(6) Pimpinan DPR tidak dapat mengumumkan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang bersifat tertutup.
(7) Pimpinan DPR dapat mengumumkan pertanyaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang bersifat terbuka.
Pasal 219
(1) Jawaban atas pertanyaan anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 ayat (2) disampaikan secara tertulis oleh Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari sejak pertanyaan diterima oleh Presiden, pimpinan lembaga negara, atau badan hukum.
(2) Penyampaian jawaban oleh Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diwakilkan kepada menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Paragraf 3
Hak Menyampaikan Usul dan Pendapat
Pasal 220
(1) Anggota DPR berhak menyampaikan usul dan pendapat mengenai suatu hal, baik yang sedang dibicarakan maupun yang tidak dibicarakan dalam rapat.
(2) Tata . . .
- 108 -
(2) Tata cara penyampaian usul dan pendapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan mengenai hak mengajukan pertanyaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Pasal 221 (1) Dalam menyampaikan usul dan pendapat dalam rapat, anggota mendaftar pada ketua rapat. (2) Hak menyampaikan usul dan pendapat dalam rapat diberikan terlebih dahulu kepada anggota yang datang lebih awal. (3) Usul dan pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diajukan secara lisan dan/ atau tertulis, singkat, dan jelas kepada ketua rapat. (4) Apabila diperlukan, ketua rapat dapat meminta anggota yang menyampaikan usul dan pendapat untuk memperjelas usul dan pendapatnya.
Paragraf 4
Hak Memilih dan Dipilih
Pasal 222
(1) Anggota DPR mempunyai hak memilih dan dipilih untuk menduduki jabatan tertentu pada alat kelengkapan DPR.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak memilih dan dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 5 . . .
- 109 -
Paragraf 5
Hak Membela Diri
Pasal 223
(1) Anggota DPR yang diduga melakukan pelanggaran sumpah/janji, kode etik, dan/atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai anggota diberi kesempatan untuk membela diri dan/atau memberikan keterangan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Ketentuan mengenai tata cara membela diri dan/atau memberikan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 6
Hak Imunitas
Pasal 224
(1) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik secara lisan maupun tertulis di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(2) Anggota DPR tidak dapat dituntut di depan pengadilan karena sikap, tindakan, kegiatan di dalam rapat DPR ataupun di luar rapat DPR yang semata-mata karena hak dan kewenangan konstitusional DPR dan/atau anggota DPR.
(3) Anggota DPR tidak dapat diganti antarwaktu karena pernyataan, pertanyaan, dan/atau pendapat yang dikemukakannya baik di dalam rapat DPR maupun di luar rapat DPR yang berkaitan dengan fungsi serta wewenang dan tugas DPR.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal anggota yang bersangkutan mengumumkan materi yang telah disepakati dalam rapat tertutup untuk dirahasiakan atau hal lain yang dinyatakan sebagai rahasia negara menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Pemanggilan . . .
- 110 -
(5) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(6) Mahkamah Kehormatan Dewan harus memproses dan memberikan putusan atas surat pemohonan tersebut dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari setelah diterimanya permohonan persetujuan pemanggilan keterangan tersebut.
(7) Dalam hal Mahkamah Kehormatan Dewan memutuskan tidak memberikan persetujuan atas pemanggilan angggota DPR, surat pemanggilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak memiliki kekuatan hukum/batal demi hukum.
Paragraf 7
Hak Protokoler
Pasal 225
(1) Pimpinan DPR dan anggota DPR mempunyai hak protokoler.
(2) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan hak protokoler sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Paragraf 8
Hak Keuangan dan Administratif
Pasal 226
(1) Pimpinan DPR dan anggota DPR mempunyai hak keuangan dan administratif.
(2) Hak keuangan dan administratif pimpinan DPR dan anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh pimpinan DPR dan diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 9 . . .
- 111 -
Paragraf 9
Hak Pengawasan
Pasal 227
(1) Setiap anggota berhak mengawasi pelaksanaan APBN dan memperjuangkan kepentingan masyarakat, termasuk di daerah pemilihan.
(2) Untuk melaksanakan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPR berhak mendapatkan dukungan administrasi keuangan dan pendampingan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan.
(3) Sebagai bahan dalam melakukan fungsi pengawasan, kementerian/lembaga wajib menyerahkan kepada komisi terkait bahan tertulis mengenai jenis belanja dan kegiatan paling lambat 30 (tiga puluh) Hari setelah undang-undang tentang APBN atau undang-undang tentang APBNP ditetapkan di paripurna DPR.
(4) Jenis belanja dan kegiatan yang diserahkan ke komisi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diakses oleh publik.
(5) Anggota DPR dapat meminta pihak terkait untuk menindaklanjuti hasil pengawasan yang dilakukan oleh anggota DPR tersebut.
(6) Pihak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib menindaklanjutinya dan menyampaikan hasil tindak lanjut tersebut kepada anggota DPR.
Bagian Kedua Belas
Persidangan dan Pengambilan Keputusan
Paragraf 1
Persidangan
Pasal 228
(1) Tahun sidang DPR dimulai pada tanggal 16 Agustus dan diakhiri pada tanggal 15 Agustus tahun berikutnya dan apabila tanggal 16 Agustus jatuh pada hari libur, pembukaan tahun sidang dilakukan pada hari kerja sebelumnya.
(2) Khusus . . .
- 112 -
(2) Khusus pada awal masa jabatan keanggotaan, tahun sidang DPR dimulai pada saat pengucapan sumpah/janji anggota.
(3) Tahun sidang dibagi dalam masa persidangan.
(4) Masa persidangan meliputi masa sidang dan masa reses, kecuali pada persidangan terakhir dari satu periode keanggotaan DPR, masa reses ditiadakan.
(5) Sebelum pembukaan tahun sidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), anggota DPR dan anggota DPD mendengarkan pidato kenegaraan Presiden dalam sidang bersama yang diselenggarakan oleh DPR atau DPD secara bergantian.
Pasal 229
Semua rapat di DPR pada dasarnya bersifat terbuka, kecuali rapat tertentu yang dinyatakan tertutup.
Pasal 230
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara persidangan dan rapat diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Paragraf 2
Pengambilan Keputusan
Pasal 231
(1) Pengambilan keputusan dalam rapat DPR pada dasarnya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mufakat.
(2) Apabila cara pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak terpenuhi, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak.
(3) Setiap keputusan rapat DPR, baik berdasarkan musyawarah untuk mufakat maupun berdasarkan suara terbanyak bersifat mengikat bagi semua pihak yang terkait dalam pengambilan keputusan.
Pasal 232 . . .
- 113 -
Pasal 232
(1) Setiap rapat atau sidang DPR dapat mengambil keputusan apabila memenuhi kuorum.
(2) Kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terpenuhi apabila rapat dihadiri oleh lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota rapat dan terdiri atas lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah fraksi, kecuali dalam rapat pengambilan keputusan terhadap pelaksanaan hak menyatakan pendapat.
(3) Apabila kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak terpenuhi, rapat ditunda paling banyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu masing-masing tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam.
(4) Setelah 2 (dua) kali penundaan, kuorum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) belum juga terpenuhi, cara penyelesaiannya diserahkan kepada pimpinan DPR.
Pasal 233
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengambilan keputusan diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Bagian Ketiga Belas
Tata Tertib dan Kode Etik
Paragraf 1
Tata Tertib
Pasal 234
(1) Tata tertib DPR ditetapkan oleh DPR dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.
(2) Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPR.
(3) Tata tertib DPR paling sedikit memuat ketentuan tentang:
a. pengucapan sumpah/janji;
b. penetapan pimpinan;
c. pemberhentian . . .
- 114 -
c. pemberhentian dan penggantian pimpinan;
d. jenis dan penyelenggaraan persidangan atau rapat;
e. pelaksanaan fungsi, wewenang dan tugas lembaga, serta hak dan kewajiban anggota;
f. pembentukan, susunan, serta wewenang dan tugas alat kelengkapan;
g. penggantian antarwaktu anggota;
h. pengambilan keputusan;
i. pelaksanaan konsultasi antara legislatif dan eksekutif;
j. penerimaan pengaduan dan penyaluran aspirasi masyarakat;
k. pelaksanaan tugas kelompok pakar/ahli; dan
l. mekanisme keterlibatan dan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.
Paragraf 2
Kode Etik
Pasal 235
DPR menyusun kode etik yang berisi norma yang wajib dipatuhi oleh setiap anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR.
Bagian Keempat Belas
Larangan dan Sanksi
Paragraf 1
Larangan
Pasal 236
(1) Anggota DPR dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya;
b. hakim . . .
- 115 -
b. hakim pada badan peradilan; atau
c. pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Negara Republik Indonesia, pegawai pada badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan lain yang anggarannya bersumber dari APBN/APBD.
(2) Anggota DPR dilarang melakukan pekerjaan sebagai pejabat struktural pada lembaga pendidikan swasta, akuntan publik, konsultan, advokat atau pengacara, notaris, dan pekerjaan lain yang ada hubungannya dengan wewenang dan tugas DPR serta hak sebagai anggota DPR.
(3) Anggota DPR dilarang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Paragraf 2
Sanksi
Pasal 237
(1) Anggota DPR yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dikenai sanksi berdasarkan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (1) dan/atau ayat (2) dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.
(3) Anggota DPR yang terbukti melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 236 ayat (3) berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pemberhentian sebagai anggota DPR.
Pasal 238 . . .
- 116 -
Pasal 238
Jenis sanksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 237 ayat (1) berupa:
a. teguran lisan;
b. teguran tertulis; dan/atau
c. diberhentikan dari pimpinan pada alat kelengkapan.
Bagian Kelima Belas
Pemberhentian Antarwaktu, Penggantian Antarwaktu,
dan Pemberhentian Sementara
Paragraf 1
Pemberhentian Antarwaktu
Pasal 239
(1) Anggota DPR berhenti antarwaktu karena:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri; atau
c. diberhentikan.
(2) Anggota DPR diberhentikan antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, apabila:
a. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apa pun;
b. melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
d. diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan;
e. tidak . . .
- 117 -
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD;
f. melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
g. diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; atau
h. menjadi anggota partai politik lain.
Pasal 240
(1) Pemberhentian anggota DPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) huruf a dan huruf b serta pada ayat (2) huruf c, huruf d, huruf g, dan huruf h diusulkan oleh pimpinan partai politik kepada pimpinan DPR dengan tembusan kepada Presiden.
(2) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak diterimanya usulan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan DPR wajib menyampaikan usul pemberhentian anggota DPR kepada Presiden untuk memperoleh peresmian pemberhentian.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
Pasal 241
(1) Dalam hal anggota partai politik diberhentikan oleh partai politiknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (2) huruf d dan yang bersangkutan mengajukan keberatan melalui pengadilan, pemberhentiannya sah setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam . . .
- 118 -
(2) Dalam hal pemberhentian didasarkan atas aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 ayat (2), Mahkamah Kehormatan Dewan menyampaikan laporan dalam rapat paripurna DPR untuk mendapatkan persetujuan.
(3) Presiden meresmikan pemberhentian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 14 (empat belas) Hari sejak diterimanya usul pemberhentian anggota DPR dari pimpinan DPR.
Paragraf 2
Penggantian Antarwaktu
Pasal 242
(1) Anggota DPR yang berhenti antarwaktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 239 ayat (1) dan Pasal 240 ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dalam daftar peringkat perolehan suara dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(2) Dalam hal calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meninggal dunia, mengundurkan diri, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR, anggota DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digantikan oleh calon anggota DPR yang memperoleh suara terbanyak urutan berikutnya dari partai politik yang sama pada daerah pemilihan yang sama.
(3) Masa jabatan anggota DPR pengganti antarwaktu melanjutkan sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikannya.
Pasal 243
(1) Pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan antarwaktu dan meminta nama calon pengganti antarwaktu kepada KPU.
(2) KPU . . .
- 119 -
(2) KPU menyampaikan nama calon pengganti antarwaktu berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 ayat (1) dan ayat (2) kepada pimpinan DPR paling lama 5 (lima) Hari sejak diterimanya surat pimpinan DPR.
(3) Paling lama 7 (tujuh) Hari sejak menerima nama calon pengganti antarwaktu dari KPU sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pimpinan DPR menyampaikan nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu kepada Presiden.
(4) Paling lama 14 (empat belas) Hari sejak menerima nama anggota DPR yang diberhentikan dan nama calon pengganti antarwaktu dari pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Presiden meresmikan pemberhentian dan pengangkatannya dengan keputusan Presiden.
(5) Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR pengganti antarwaktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mengucapkan sumpah/janji yang dipandu oleh pimpinan DPR dengan teks sumpah/janji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78.
(6) Penggantian antarwaktu anggota DPR tidak dilaksanakan apabila sisa masa jabatan anggota DPR yang digantikan kurang dari 6 (enam) bulan.
Paragraf 3
Pemberhentian Sementara
Pasal 244
(1) Anggota DPR diberhentikan sementara karena:
a. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun; atau
b. menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana khusus.
(2) Dalam . . .
- 120 -
(2) Dalam hal anggota DPR dinyatakan terbukti bersalah karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diberhentikan sebagai anggota DPR.
(3) Dalam hal anggota DPR dinyatakan tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a atau huruf b berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, anggota DPR yang bersangkutan diaktifkan.
(4) Anggota DPR yang diberhentikan sementara, tetap mendapatkan hak keuangan tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberhentian sementara diatur dalam peraturan DPR tentang tata tertib.
Bagian Keenam Belas
Penyidikan
Pasal 245
(1) Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Dalam hal persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan paling lama 30 (tiga puluh) Hari terhitung sejak diterimanya permohonan, pemanggilan, dan permintaan keterangan untuk penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR:
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka . . .
- 121 -
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.